REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Badan layanan imigrasi Jepang mengeluarkan pedoman yang lebih rinci yang memungkinkan Menteri Kehakiman memberikan izin tinggal khusus kepada warga negara asing yang menghadapi deportasi.
Pedoman itu memperjelas faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh Menteri Kehakiman Jepang ketika mengambil keputusan tentang deportasi. Menteri Kehakiman mempunyai wewenang untuk mengizinkan individu tetap tinggal di Jepang setelah meninjau faktor positif dan negatif.
Meskipun pedoman yang diterbitkan sudah ada, kementerian tersebut telah memberikan pedoman yang lebih spesifik untuk meningkatkan transparansi, tapi prosesnya tidak berubah.
Dalam pedoman terbaru, Badan layanan Imigrasi lebih merinci "elemen positif" yang dipertimbangkan. Seperti sejauh mana seseorang telah berintegrasi dan berkontribusi pada komunitasnya. Atau apakah mereka telah memiliki anak atau anak-anak yang terdaftar di sistem sekolah Jepang untuk jangka waktu lama.
"Elemen negatif" mencakup penilaian berdasarkan berapa lama mereka telah melampaui masa berlaku visanya, kegagalan mereka memenuhi persyaratan pembebasan dari tahanan. Juga apakah mereka telah berulang kali menimbulkan gangguan publik di komunitas mereka.
Menteri Kehakiman Ryuji Koizumi mengatakan kementeriannya bermaksud untuk meningkatkan transparansi dengan meningkatkan jumlah kriteria contoh yang tersedia. Pedoman tersebut ditinjau setelah keputusan dibuat untuk menciptakan sistem berbasis aplikasi guna meminta izin tinggal khusus berdasarkan revisi Undang-Undang (UU) Pengendalian Imigrasi dan Pengakuan Pengungsi, yang disahkan parlemen Jepang pada Juni, dan resolusi tambahan dalam UU tersebut yang menyerukan pertimbangan kepentingan anak-anak.
Pada 2022, izin tinggal khusus diberikan kepada 1.525 orang, menurut badan imigrasi tersebut, dan menteri kehakiman memutuskan permohonan mereka berdasarkan kasus per kasus.