REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Aria Bima mengatakan, hak angket merupakan hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Usulannya pun melibatkan banyak ahli dan akademisi.
"Saya ikut membantu memonitor persiapan naskah akademik angket. Karena ada dasar, ada tujuan, ada dampak, kemudian ada prasyarat-prasyarat angketnya yang secara akademisi harus dipertanggungjawabkan," ujar Aria Bima di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta.
"Jadi kesannya tidak hanya asal saja manuver politik," sambungnya menegaskan.
Fraksi PDIP juga mengapresiasi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyuarakan hak angket. Sebab, ia melihat pemilihan umum (Pemilu) 2024 dihiasi dengan berbagai indikasi kecurangan yang tak bisa dibiarkan.
Pembentukan pansus hak angket harus berdasarkan urgensi dan memenuhi syarat. Syarat penggunaan hak angket ini diatur dalam Pasal 199 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3).
Dalam Pasal 199 Ayat 1 berbunyi, "Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 Ayat 1 huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi".
"Sikap tentunya akan berlanjut, kita lihat sikapnya seperti apa? Apakah Nasdem? apa PKB? Nah sikap itu nanti akan terlihat, yaitu tidak hanya sekedar mendukung, tetapi ikut mengusulkan, ya minimal dua fraksi," ujar Aria Bima.
Secara garis besarnya, hak angket juga akan menyelidiki sejumlah kementerian/lembaga yang tak independen selama Pemilu 2024. Sebab ditemukan dugaan-dugaan, mereka digunakan untuk kepentingan elektoral pihak tertentu.
"Kita hanya ingin tahu benarkah bansos berdampak secara elektoral atau digunakan untuk kepentingan elektoral. Benarkah Depdagri ada perintah kepada Plt Gubernur, Plt Bupati, ke kades untuk elektoral, benarkah ada tekanan dari Kapolsek ke kepala desa," ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR itu.