REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti pangan sekaligus dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB), Angga Dwiartama, mengungkapkan bahwa kenaikan harga beras menunjukkan betapa rapuhnya adaptasi iklim pertanian Indonesia. Menurut Angga, pemerintah perlu mengantisipasi risiko ini sesegera mungkin untuk meredam kenaikan harga beras.
“Pemerintah mengklaim harga beras naik terjadi karena El Nino dan perbedaan temperature permukaan air laut atau Indian Ocean Dipole (IOD) menyebabkan gagal panen padi di banyak tempat. Situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya padi di Indonesia terhadap cuaca ekstrem,” kata Angga dalam webinar di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Produksi beras tahun 2023 mencapai 30,90 juta ton atau turun 2,05 persen dibandingkan tahun lalu sebagai dampak fenomena El Nino, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Tahun 2023 juga disebut sebagai salah satu kejadian El Nino terburuk dalam sejarah dalam kaitannya dengan kenaikan suhu rata-rata global.
“Perubahan cuaca sebenarnya bisa terjadi kapanpun, dan petani maupun sistem pertanian masih bisa beradaptasi. Tapi, dalam kondisi cuaca ekstrem seperti yang terjadi belakangan ini, kerentanan sistem pertanian padi kita semakin terlihat,” ungkap Angga.
Angga kemudian menyampaikan tiga rekomendasi adaptasi perubahan iklim yang dapat diambil oleh pemerintah untuk sektor pertanian padi di Indonesia. Pertama, pembangun infrastruktur lokal. Menurut dia, pemerintah perlu membangun infrastruktur lokal yang sejalan dengan karakteristik sosio-ekologi di masing-masing wilayah.
Setiap area di Indonesia, jelas Angga, memiliki karakteristik sosio-ekologis yang spesifik dan sensitivitas yang berbeda terhadap guncangan cuaca. Contoh yang nyata adalah dukungan pemerintah terhadap irigasi tradisional Subak di Bali yang menjamin keadilan akses air bagi petani.
Langkah kedua adalah peningkatan akses sumber daya pertanian. Angga mengatakan, mayoritas petani padi di Indonesia termasuk pada kategori petani gurem dan paruh waktu yang sangat rentan terhadap guncangan ekonomi ataupun iklim.
“Pemerintah dapat meningkatkan akses petani gurem terhadap sumber daya pertanian yang mencukupi seperti lahan, sumber daya air, dan sarana produksi pertanian,” kata Angga.
Ketiga, penguatan warga desa. Menurut Angga, pemerintah perlu mendorong penguatan kapasitas masyarakat pedesaan secara lebih luas melalui praktik baik adaptasi perubahan iklim. Ia menilai, masyarakat pedesaan adalah kunci produksi pangan Indonesia.
Meskipun demikian, kata Angga, perlu disadari bahwa penghidupan masyarakat desa lebih dari sekadar pertanian. “Memahami secara lebih luas berbagai strategi penghidupan pedesaan dan berbagai praktik baik adaptasi perubahan iklim di masyarakat desa dapat mendorong pembangunan yang menguatkan ketangguhan atau resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim,” ungkap dia.