REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI menyindir penyidik di kasus pemerasan eks Ketua KPK Firli Bahuri terhadap Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Kompolnas menyayangkan penyidik yang tak kunjung menahan Firli.
Komisioner Kompolnas, Yusuf Warsyim menyadari ada alasan objektif dalam kasus ini, terkait dengan pasal yang disangkakan. Dalam hal ini Firli tidak hanya diancam pasal pemerasan yang ancaman hukumannya lima tahun, tapi juga gratifikasi yang ancaman hukumannya lebih lima tahun.
"Dengan melihat alasan itu, penyidik bisa menahannya. Hanya saja, ini tidak dilakukan penyidik," kata Yusuf dikutip di Jakarta pada Rabu (6/3/2024).
Yusuf menegaskan, Firli Bahuri dipanggil polisi bukan lagi sebagai saksi, tapi tersangka. Apalagi, sambung dia, praperadilan Firli pun sudah kandas.
"Kalau sesuai dengan KUHAP, apabila dipanggil penyidik tidak hadir sampai dua kali tidak memberi keterangan yang jelas, ya penyidik berwenang memanggilnya secara paksa," ujar Yusuf.
Dia juga mengingatkan penyidikan kasus ini disorot oleh publik. Yusuf mengamati mulai banyak kritikan-kritikan terhadap penyidik. "Kami sendiri sebelumnya sudah mendorong terus agar profesional, transparan dan akuntabel," ucap Yusuf.
Dia pun mendorong polisi menahan Firli sebagai bentuk keseriusan mengusut kasus ini. "Ya, saya kira sepatutnya untuk memberikan kejelasan kepada publik bahwa penyidikan ini sungguh-sungguh dan profesional, sepatutnya ditahan dengan melihat pasal yang disangkakan," ujar Yusuf.
Keberadaan tersangka kasus pemerasan Firli Bahuri kembali menghilang. Setelah mangkir dari pemeriksaan lanjutan pada Senin (26/2/2024), mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tak diketahui keberadaannya.
Tim pengacaranya, Fahri Bachmid pun mengaku kehilangan kontak dan komunikasi, serta menanyakan keberadaan Firli kepada penyidik Polda Metro Jaya. Tapi pengacara Firli yang lain, Ian Iskandar mengeklaim, masih bisa berkomunikasi dengan Firli.