REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil kembali melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas kesewenangannya dalam penyelenggaraan pemilu. Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya mengatakan, somasi kedua dilayangkan kepada Jokowi karena berbagai bentuk ketidaknetralan yang berimplikasi bagi buruknya demokrasi serta etika kepemimpinan.
"Somasi kedua ini intinya kami menggarisbawahi apakah presiden masih punya itikad masih punya etika dalam menjalankan etika kepemimpinan dan juga etika moral berbangsa dan bernegara," ujar Dimas di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Kamis (7/3/2024).
Baca: Dua Mantan Ajudan Presiden Jokowi Jabat Pangdam
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari 41 organisasi dan 10 individu yang bergerak di bidang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, lingkungan, antikorupsi, perburuhan, kebudayaan dan sektor lainnya. Menurut Dimas, rangkaian pelanggaran dan ketidaknetralan seakan didiamkan.
Padahal, hal itu menunjukan penyalahgunaan kekuasaan. Dimas menyebut, ada tiga poin yang ditekankan dalam somasi tersebut. Pertama, ditemukan sejumlah kecurangan, dari kecurangan prapemilu mulai pernyataan presiden soal cawe-cawe dan juga soal diizinkannya presiden untuk memihak dan berkampanye.
Kedua, Koalisi Masyarakat Sipil juga menyoroti peran presiden dalam mencegah pola kepemimpinan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dimas menganggap, KKN merujuk UU 28 Tahun 1999.
Baca: SBY dan Prabowo, Hingga AHY Adalah Eks Penghuni Paviliun 5 Akmil
"Berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme terutama Pasal 1 ayat 5 yang kami ambil definisi nepotisme sendiri adalah pelaksanaan pemerintahan yang harus bebas dari segala macam urusan yang bersangkutan dengan keluarga maupun kepentingan-kepentingan yang berkitan dengan relasi kerabat dan sebagainya," jelasnya.
Ketiga, Presiden dinilai tidak aktif dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat hingga hari ini, ada empat pelanggaran etik yang dilakukan Ketua KPU yang seharusnya direspon oleh Istana, terutama Presiden untuk memberhentikannya.
Baca: Dubes Korsel untuk RI Beri Selamat kepada Menhan Prabowo
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil memberikan tenggat waktu selama tujuh hari kepada Presiden Jokowi sejak surat somasi diterbitkan. Ada lima hal yang menjadi tuntutan:
1. Meminta maaf kepada seluruh rakyat atas keculasan dan tindakan niretika yang dilakukan selama proses pemilu;
2. Menghentikan tindakan kesewenang-wenangan, menggunakan kekuasaan, menghalalkan segala cara untuk mengakselerasikan kepentingan politik presiden beserta keluarga dan kelompoknya;
3. Memberikan sanksi yang tegas kepada seluruh bawahannya yang terlibat dalam berbagai kecurangan dan ketidaknetralan seperti halnya menteri, aparat TNI-Polri hingga ASN;
4. Meminta perangkat negara seperti halnya Bawaslu sebagai pengawas pemilu untuk mengusut tuntas dan adil seluruh kecurangan yang terjadi serta disampaikan kepada publik;
5. Melakukan pemberhentian kepada Ketua KPU Republik Indonesia karena terbukti telah terindikasi melanggar kode etik dalam pelaksanaan fungsi dan tugas yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penyelenggara pemilu.
"Bahwa apabila presiden tidak mengindahkan surat somasi ini, maka kami siap untuk mengambil langkah hukum baik lewat mekanisme administratif, perdata atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar Dimas.