REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membayar utang puasa Ramadhan sering kali tidak selalu dianggap mudah bagi sebagian umat Islam. Hal ini bisa karena berbagai alasan, namun bagaimana hukumnya jika belum membayar utang puasa, padahal sudah masuk ke Ramadhan tahun berikutnya?
Jika dilakukan dengan sengaja tanpa ada alasan syari, maka hukumnya bisa haram dan berdosa. Dikutip dari laman NU Online, Rabu (6/2/2024), Allah SWT mewajibkan puasa bagi setiap orang yang memenuhi syarat puasa.
Bagi yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena sakit dan lain hal, wajib menggantinya. Untuk Orang yang batal puasa demi orang lain seperti ibu menyusui atau ibu hamil; dan menunda qadha puasanya karena kelalaian hingga Ramadhan tahun berikutnya tiba, mendapat beban tambahan.
"Keduanya diwajibkan membayar fidyah di samping mengqadha puasa yang pernah ditinggalkannya," demikian dikutip Rabu (6/2/2024).
"(Kedua (yang wajib qadha dan fidyah) adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha) puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba) didasarkan pada hadits, ‘Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,’ (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi). Sedangkan yang berada di luar kategori "memiliki kesempatan" itu seperti orang yang senantiasa bersafari (pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, menunda akibat lupa, atau belum tahu keharaman penundaan qadha.
Tetapi jika hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur. Alasan seperti ini tak bisa diterima; sama halnya dengan orang yang mengetahui keharaman berdehem (saat shalat), tetapi tidak tahu itu bisa membatalkan sholat.
Beban fidyah itu terus ada seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berutang (sebelum dilunasi),” ujar (Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja, Surabaya, Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan, tanpa tahun, halaman 114).
Dari situ, bisa dilihat alasan tidak sempat qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya, itu disebabkan karena sakit, lupa, atau memang lalai dengan menunda-nunda. Apabila disebabkan karena kelalaian, tentu wajib mengqadha dan juga membayar fidyah sebesar satu mud untuk satu hari utang puasanya. Diketahui, satu mud setara dengan 543 gram menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sementara menurut Hanafiyah, satu mud seukuran dengan 815,39 gram bahan makanan pokok seperti beras dan gandum.
Golongan yang wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah terdiri atas dua, yaitu memutuskan puasa karena mengkhawatirkan selain dirinya dan keterlambatan menqadha puasa hingga datang bulan Ramadhan berikutnya. Bagi yang diwajibkan qadha tanpa membayar fidyah, adalah kelompok yang meninggalkan puasa karena sakit ayan, melakukan perjalanan jauh, sakit tidak permanen, lupa berniat di waktu malam, menyengaja berbuka, dan lainnya.
Sedangkan wajib membayar fidyah tanpa qadha, antara lain, seperti orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi menjalankan ibadah puasa. Menurut laman Baznas.go.id, kriteria orang yang bisa membayar fidyah di antaranya:
-Orang tua renta yang tidak memungkinkannya untuk berpuasa
-Orang sakit parah yang kecil kemungkinan sembuh
-Ibu hamil atau menyusui yang jika berpuasa khawatir dengan kondisi diri atau bayinya (atas rekomendasi dokter).
Fidyah wajib dibayarkan untuk mengganti ibadah puasa sesuai jumlah hari yang ditinggalkan untuk satu orang. Berdasarkan SK Ketua BAZNAS No. 07 Tahun 2023 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Ibukota DKI Jakarta dan Sekitarnya, ditetapka nilai fidyah dalam bentuk uang sebesar Rp 60 ribu per hari per jiwa.