Kamis 07 Mar 2024 23:08 WIB

Menkop Sebut 47 Persen Pembiayaan ke UMKM Belum Terlayani

Suku bunga kredit di Indonesia masih sangat tinggi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki saat menjadi pembicara kunci dalam acara BRI Microfinance Outlook 2024 bertajuk ‘Enhancing Financial Inclusion Through Regulatory Measures and Digital Transformation Strategies’ yang diselenggarakan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk di Ballroom Menara BRILiaN, Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Foto: dok Kemenkop UKM
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki saat menjadi pembicara kunci dalam acara BRI Microfinance Outlook 2024 bertajuk ‘Enhancing Financial Inclusion Through Regulatory Measures and Digital Transformation Strategies’ yang diselenggarakan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk di Ballroom Menara BRILiaN, Jakarta, Kamis (7/3/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) menyatakan, kemudahan akses pembiayaan masih menjadi hal penting bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Bahkan dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebanyak 47 persen kebutuhan pembiayaan ke UMKM belum dapat terlayani oleh Lembaga Jasa Keuangan.

Maka, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki meminta kepada seluruh lembaga jasa keuangan agar terus memperbesar dan memudahkan pembiayaan ke UMKM. Tujuannya supaya dapat menjangkau karakteristik pelaku UMKM yang tidak seragam.

Baca Juga

“Pembiayaan menjadi isu penting bagi UMKM. Padahal, UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Sebagai penyedia lapangan pekerjaan, berkontribusi terhadap PDB, termasuk terhadap ekspor,” ujar Teten dalam BRI Microfinance Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (7/3/2024).

Hasil kajian Ernst and Young dan AFPI (2023) menunjukkan, terdapat tren peningkatan kesenjangan antara permintaan dan suplai pembiayaan UMKM pada 2026, yakni kebutuhan pendanaan sebesar Rp 4.300 triliun dan pasokan hanya Rp 1.900 triliun. Selain itu, indeks Literasi Keuangan masyarakat Indonesia terus membaik dari hanya 38,03 persen pada 2019 naik menjadi 49,68 persen pada 2022. 

Peningkatan literasi keuangan masyarakat mengindikasikan, inklusivitas keuangan negara semakin tinggi. Hanya saja, kata dia separuh dari pelaku UMKM Tanah Air ada di sektor produktif seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Di sektor-sektor unggulan domestik ini, justru serapan kredit UMKM masih rendah.

“Sebagai contoh di sektor pertanian 31 persen, dan perikanan baru sekitar dua persen saja. Lalu, kemana sebagian besar kredit UMKM? Ke sektor perdagangan karena potensi Non Performing Loan (NPL)-nya rendah,” tutur Menkop.

Para produsen pangan petani rata-rata memiliki sekitar 0,3 hektare (ha) untuk produksi. Maka, agar petani bisa terhubung ke market/industri perlu adanya agregator, namun mereka tidak bisa menjadi ekosistem pembiayaan seperti perbankan. 

Sementara di India, agregator diberi kewenangan untuk membeli, dan mereka boleh mengakses dana perbankan sebesar tiga persen. “Bank tidak mau memberikan pembiayaan ke petani kecil, karena potensi NPL tinggi, hingga potensi gagal panen. Maka, perlu ada offtaker,” ujar dia.

Kemenkop memiliki proyek percontohan atau mini excercise di Koperasi Al-Itifaq Ciwidey, di mana terdapat 1.200 petani yang menyuplai sayuran yang awalnya delapan ton per hari menjadi 80 ton per hari ke ritel modern Superindo dan AEON. Awalnya perbankan belum mau membiayai petani kecil, tetapi ketika disuntikkan dana bergulir ke koperasi untuk memperkuat permodalannya kemudian koperasi memberikan dana tunai ke petani sehingga mereka bisa berproduksi memasok ke pasar, bank baru mau masuk untuk memperkuat pembiayaan.

“Selain soal penjaminan, asuransi, ekosistem seperti ini yang harus kita bangun. Yang awalnya dibeli tengkulak sekarang dibeli oleh koperasi, petani menjadi terencana produksi karena sesuai permintaan pasar, sehingga tak mungkin produk petani tak dibeli. Menciptakan kesejahteraan bagi petani dan produk ke industri,” jelas dia.

Ia mengungkapkan, umumnya ada tiga hal yang menyebabkan UMKM sulit mengakses kredit perbankan dan nonperbankan. Pertama, tidak memiliki agunan. Dalam dua tahun terakhir, alasan terbesar ditolaknya kredit UMKM karena tidak ada agunan pada kredit bank sebesar 59,62 persen dan pada kredit fintech atau nonbank sebesar 46,43 persen.

Kedua, suku bunga kredit yang masih tinggi, yakni per tahun 2021 mencapai sebesar 8,59 persen. Sementara negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia hanya 3,45 persen dan Singapura 5,42 persen.

“Ketiga, banyak UMKM terkendala Status SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan). Prediksi Bappenas tahun 2024 kredit usaha perbankan hanya mencapai 24 persen, salah satunya disebabkan tidak lolos SLIK,” ujarnya.

Maka, kata MenKopUKM, inovasi kebijakan pembiayaan untuk UMKM perlu terus diperkuat. Seperti Skema Pembiayaan UMKM melalui Rantai Pasok sesuai amanah PP 7 Tahun 2021, untuk memberikan kepastian UMKM dapat lebih berkembang dan pembayaran kredit UMKM lebih lancar.

Perlu juga afirmasi dan kesungguhan untuk memberikan kemudahan pembiayaan sektor produktif (pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan). Seperti Jepang melalui JFC dapat menyalurkan lebih dari 60 persen ke sektor produktif. “Perlu menyusun skema kredit skoring bagi UMKM untuk menjadi alternatif penilaian kelayakan kredit selain agunan, ada lebih 140 negara menggunakan skema ini,” jelas dia.

Sesuai UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, negara berkepentingan untuk melakukan penghapusan piutang macet UMKM di bank. Ini bertujuan memberikan kelancaran akses pembiayaan baru bagi UMKM.

“Termasuk harus ada perluasan dukungan Asuransi Penjaminan ke industri peer to peer lending (P2P). Lalu securities crowdfunding sebagai alternatif pembiayaan bagi UMKM,” tutur dia. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement