REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Subdirektorat IV Tindak Pidana Tertentu Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Timur (Jatim) menggagalkan perdagangan ilegal satwa dilindungi. Salah satu tersangka perdagangan satwa ilegal ini merupakan residivis.
Ada dua tersangka yang ditangkap terkait kasus itu, salah satunya warga Surabaya berinisial MIH. Tersangka MIH disebut tidak memiliki legalitas yang sah dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk memiliki, memelihara, menyimpan, ataupun memperjualbelikan satwa dilindungi.
Menurut Direktur Reskrimsus Polda Jatim Kombes Pol Luthfie Sulistiawan, dari MIH diamankan 162 ekor labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) dalam keadaan hidup, yang merupakan satwa dilindungi.
Polisi juga mengamankan satwa yang sama dari tersangka lainnya, MKP, warga Kabupaten Gresik. “Dari tangan MKP polisi mengamankan 1.192 ekor labi-labi moncong babi dalam keadaan hidup. Kemudian dua ekor burung kakaktua jambul kuning dan satu ekor burung tiong emas dalam keadaan hidup,” kata Luthfie, Kamis (7/3/2024).
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Luthfie menjelaskan, tersangka MIH mendapatkan labi-labi moncong babi dari Papua. Di sana, MIH membeli labi-labi moncong babi dengan harga Rp 80 ribu sampai Rp 90 ribu per ekor. Tersangka menjualnya kembali dengan harga Rp 130 ribu hingga Rp 200 ribu per ekor.
Menurut Luthfie, tersangka MIH merupakan residivis yang telah berulang kali ditangkap terkait kasus perdagangan ilegal satwa. “Semula tersangka ini merupakan pencinta hewan. Namun, melihat ada celah bisnis di situ, tersangka memanfaatkannya dan sampai lima kali tertangkap polisi,” kata dia.
Adapun tersangka MKP pernah berproses hukum dengan BKSDA Jatim terkait kasus serupa. Setelah bebas, MKP kembali terlibat dalam perdagangan satwa dilindungi, hingga akhirnya ditangkap Polda Jatim.
Luthfie mengatakan, kedua tersangka dijerat Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp 100 juta.