REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menjelaskan, penentuan kursi ketua DPR akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Partai Golkar berdasarkan penghitungan sementara berada di posisi kedua pemilihan legislatif (Pileg) 2024.
"Ketua DPR sesuai dengan ketentuan UU MD3, maka ketua DPR diduduki oleh pemilik kursi terbanyak di parlemen," ujar Bamsoet di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Saat ini, santer isu ihwal wacana untuk DPR kembali merevisi UU MD3 dan MPR disebut Bamsoet terbuka dengan hal tersebut. Isu tersebut berkaitan dengan perebutan kursi ketua DPR untuk periode 2024-2029.
"Kemungkinan (revisi UU MD3) ada, cuma kita lihat trennya. Sampai hari ini saya belum lihat lagi, apakah suara Golkar sudah melampaui PDIP," ujar Bamsoet.
Kendati terbuka untuk merevisi UU MD3, Bamsoet mengingatkan soal kondusivitas politik Indonesia usai pemilihan umum (Pemilu) 2024. Menurutnya, kondusivitas tersebutlah yang harus diprioritaskan terlebih dahulu.
"Jangan lah memunculkan hal-hal yang membuat kita gaduh. Saya adalah orang pertama yang tidak setuju kalau ada dorongan perubahan di UU MD3," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.
Sebelumnya, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritik, dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, UU MD3 telah direvisi sebanyak tiga kali. Revisi pertama disahkan 5 Desember 2014, revisi kedua 12 Februari 2018, dan terakhir 16 September 2019.
Khusus revisi terakhir, bahkan dilakukan sebelum undang-undang tersebut dijalankan oleh DPR periode 2014-2019 saat itu.
Dari tiga kali revisi UU MD3, intinya yakni mengubah aturan soal bagi-bagi kursi pimpinan MPR. Pada mulanya, kursi pimpinan MPR berjumlah lima, lalu bertambah menjadi delapan, dan terakhir menjadi sepuluh. Beleid dirombak atas nama rekonsiliasi kepentingan politik pascapilpres.