REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perempuan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mendorong agar ditetapkan hari hijab nasional. Perempuan ICMI mengusulkan hari hijab setiap 8 Maret.
Ketua Umum Perempuan ICMI Welya Safitri mendesak hari hijab nasional harus menjadi undang-undang. Menurutnya, apabila menjadi UU maka akan memberikan dampak terhadap industri hijab. Welye menjelaskan mengapa dipilih 8 Maret karena pada tanggal tersebut merupakan hari perempuan Internasional.
"Inilah kita isi hari perempuan internasional bagaimana jadi UU Hari Hijab Nasional karena sudah ada hari hijab internasional (1 Februari). Jangan sampai keduluan negara lain," ujar Welya dalam Deklarasi Hari Hijab Nasional 8 Maret di Hotel Oasis Amir, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2024).
Welya mengatakan perjuangan Perempuan ICMI agar lahir UU Hari Hijab Nasional sudah satu dekade terakhir. Oleh karena itu, ia menegaskan jilbab bukan isu baru bagi Perempuan ICMI. Dan Welya berharap jika memang sulit memperjuangkan UU maka minimal lahir keputusan presiden.
Welya mengajak kepada perempuan Indonesia agar terus menggaungkan UU Hari Hijab Nasional. Dengan begitu isu ini akan menjadi perhatian khusus dari pemerintah atau DPR.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Partai Amanat Nasional (PAN) Andi Yuliani Paris memberikan dukungan atas upaya Perempua ICMI mendorong hari Hijab Nasional setiap 8 Maret. Namun Yuliani Paris mengungkapkan dibutuhkan perjuangan panjang agar lahir UU Hari Hijab Nasional.
Sebab proses politik di DPR membuat UU Hari Hijab Nasional tidak akan mudah. Komposisi kursi dari partai politik yang berasaskan Islam masih kalah dari partai berideologi nasional. Oleh karena itu, menurut Yuliani Paris Perempuan ICMI bisa mencoba jalan lain sebelum lahirnya UU seperti mendesak peraturan pemerintah atau peraturan menteri.
"Saya setuju kita gaungkan. Kita tak pernah berhenti berjuang. Tapi harus ada step by step-nya," kata Yuliani Paris.