REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Prof KH Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menerangkan bahwa ada dua pendapat ulama terkait terbelahnya laut saat Nabi Musa Alaihissalam dikejar Firaun beserta tentaranya. Ada ulama yang berpendapat bahwa itu adalah fenomena alam biasa saat laut surut, namun mayoritas ulama berpendapat itu adalah mukjizat sehingga terjadi fenomena alam yang tidak biasa.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَاِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَاَنْجَيْنٰكُمْ وَاَغْرَقْنَآ اٰلَ فِرْعَوْنَ وَاَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ
Wa iż faraqnā bikumul-baḥra fa'anjainākum wa agraqnā āla fir‘auna wa antum tanẓurūn(a).
(Ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, lalu Kami menyelamatkanmu dan menenggelamkan (Firaun dan) pengikut-pengikut Firaun, sedangkan kamu menyaksikan(nya) (QS Al-Baqarah Ayat 50)
Prof KH Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa ayat tersebut mengingatkan mereka tentang nikmat Allah yang dilimpahkan kepada leluhur Bani Israil. Dengan sedikit rinci ayat ini memerintahkan Bani Israil: Dan ingatlah juga di samping mengingat nikmat-nikmat yang lalu, ketika Kami belah laut yakni laut Merah yang dikenal juga dengan laut Qalzum yaitu di satu daerah dekat Terusan Suez saat ini atau yang dahulu dikenal dengan nama Fam al-Hairuts untuk kamu hai Bani Israil yang ketika itu bersama Nabi Musa meninggalkan Mesir menuju Sinai.
Lalu ketika itu, Kami selamatkan kamu dengan jalan Kami pisahkan air laut agar kalian dapat menyeberanginya. Sehingga kalian dapat menghindar dari kejaran Firaun dan para tentaranya, dan Kami bela kalian dari kejaran mereka dengan jalan Kami tenggelamkan pengikut-pengikut Firaun, sedang kamu sendiri menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepala kalian.
Adapun Firaun maka Kami selamatkan badannya agar menjadi pelajaran bagi generasi sesudahnya, sebagaimana terbaca dalam Alquran, Surat Yunus Ayat 92.
Ketika terjadi eksodus itu Nabi Musa Alaihissalam bersama umatnya (Bani Israil) tidak menempuh jalan yang biasa ditempuh untuk menuju ke Sinai. Mereka tidak menelusuri pantai Laut Tengah yang jaraknya hanya sekitar 250 mil menuju Sinai. Tetapi mereka menelusuri jalan arah tenggara, menelusuri Laut Merah untuk menghindar dari lalu lalang kafilah sekaligus menjauhkan diri dari kejaran Firaun.
Nabi Musa menempuh jalur tersebut atas perintah Allah sebagaimana diisyaratkan oleh Alquran Surat Asy-Syuara Ayat 52.
Allah SWT memerintahkan menempuh jalur itu, agar dalam perjalanan menemukan Laut Merah dan terpaksa berhenti karena dihadang oleh laut yang kemudian dalam kenyataannya dijadikan Allah sebagai kuburan bagi tentara Firaun. Demikian tulis Thahir Ibn 'Asyur.
Ada yang berpendapat bahwa Nabi Musa Alaihissalam bersama umatnya meninggalkan Mesir atas izin Firaun, tetapi rupanya setelah mereka berangkat, Firaun menyesal membiarkan tenaga-tenaga yang mereka pekerjakan itu meninggalkan Mesir, atau menduga bahwa Nabi Musa dan pengikutnya bermaksud melakukan makar atasnya, karena Nabi Musa menempuh jalur yang tidak biasa, maka karena itu Firaun mengejar mereka.
Mukjizat Atau Fenomena Alam Biasa?
Pembelahan laut dipahami oleh sebagian ulama dalam arti air surut setelah pasang, dan dengan demikian ia adalah peristiwa alam biasa. Tetapi mayoritas ulama memahaminya dalam arti peristiwa luar biasa, apalagi dalam Alquran Surat Asy-Syuara Ayat 63 dijelaskan bahwa itu terjadi melalui perintah Allah kepada Nabi Musa.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنِ اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْبَحْرَۗ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ ۚ
Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah laut dengan tongkatmu itu.” Maka, terbelahlah (laut itu) dan setiap belahan seperti gunung yang sangat besar. (QS Asy-Syu‘ara' Ayat 63)
Semua juga mengetahui bahwa tongkat merupakan alat yang digunakan Nabi Musa dalam menampakkan mukjizat atau hal-hal yang luar biasa.
Kalau peristiwa pembelahan laut itu, merupakan peristiwa alam biasa, maka mengapa Allah memerintahkan Nabi Musa menggunakan tongkatnya?
Betapapun dan bagaimanapun terjadinya peristiwa tersebut, namun yang pasti ia penuh dengan aneka nikmat. Mereka bersama anak cucu diselamatkan, musuh yang sangat ditakuti dibinaskan, kebinasaannya bukan semata cerita, tapi mereka saksikan dengan mata kepala sendiri. Bukankah itu semua merupakan nikmat yang perlu disyukuri, apalagi kalau peristiwa itu mukjizat yang tidak terulang, sehingga dapat menguatkan iman?
Di atas terbaca bahwa mereka diselamatkan dari keluarga Firaun, bukan dari Firaun. Ini karena keluarga dan rezimnya lah yang membantu dan mendukung Firaun dalam kekejaman dan kedurhakaannya, sehingga mereka juga harus ikut bertanggung jawab dan ikut mendapatkan sanksi.
Tentu saja Firaun juga tenggelam dan mendapat sanksi sebagaimana diuraikan pada ayat lain dalam Alquran, Surat Al-Isra Ayat 103. Boleh jadi juga Firaun tidak disebut di sini karena badannya diselamatkan Allah SWT. Ia tenggelam tetapi kemudian terdampar di pantai dan dikenal oleh masyarakatnya sehingga dapat mereka awetkan dengan pembalseman dan dapat bertahan hingga kini dalam bentuk mumi yang disimpan dalam museum Mesir di Kairo.
Adapun tentaranya maka mereka tidak diawetkan bahkan boleh jadi tenggelam ke dasar laut, sehingga hanya mereka yang disebut oleh ayat ini sebagai ditenggelamkan Allah SWT. Demikian sekali lagi Alquran membuktikan kebenaran dan ketelitian informasinya. Untuk jelasnya bacalah Surat Yunus Ayat 92.