REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Allah SWT mewajibkan kepada orang yang beriman agar berpuasa di bulan puasa Ramadhan. Perintah ini ditetapkan Allah SWT sejak tahun ke-11 dari hijrah Nabi Muhammad SAW. Yaitu setelah ajaran tauhid tertanam dalam jiwa dan sholat telah disyariatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Yā ayyuhal-lażīna āmanū kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alal-lażīna min qablikum la‘allakum tattaqūn(a).
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah Ayat 183)
Perintah mengerjakan puasa Ramadhan, yang diturunkan langsung dari Allah SWT dengan perantaraan Rasul-Nya, mengetuk hati, iman, dan aqidah orang-orang beriman. Menyentuh akal, perasaan, jiwa dan sanubari, semuanya sekaligus.
Oleh karena yang terpanggil itu adalah hati yang telah merasakan halawatul iman yaitu manis nikmatnya iman, maka perintah puasa Ramadhan tidak diterima dengan rasa yang berat oleh orang-orang beriman, sebagaimana beratnya orang membayar pajak.
Demikian dikatakan Buya Hamka dalam buku Tuntunan Puasa, Tarawih dan Sholat Idul Fitri terbitan Gema Insani, 2017. Bahkan, puasa disambut gembira, dielu- elukan, ditunggu kedatangannya oleh orang-orang beriman dengan bersemangat.
Terlebih jika melihat susunan ayat dan perintah yang turun, memang terbukti datangnya dari Allah SWT, penuh dengan hikmah dan dakwah, tasyri yang bijaksana dan ilmu jiwa yang sempurna. Dengan demikian, setelah ayat dibaca, terasa penyerahan diri dan keyakinan bahwa apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, tidak lain untuk kemaslahatan yang diperintahkan semata.
Dalam permulaan ayat ini, Allah SWT memanggil, "Yā ayyuhal-lażīna āmanū" artinya "Wahai orang-orang yang telah mengakui beriman kepada Allah SWT."
Mendengar seruan ini, orang yang merasa bahwa ada iman dalam dirinya akan terus tersentak dan tersadar. "Perintahkanlah Tuhanku, segala perintah-Mu hamba junjung tinggi.”
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang utama dalam hal tafsir Alquran.
Abdullah bin Mas'ud berkata, "Jika kami mendengar satu ayat yang dimulai dengan seruan kepada orang beriman, kami terkembang menunggu tugas yang akan dipikulkan ke atas bahu kami."
Oleh sebab itu, seruan kepada orang yang beriman adalah suatu seruan terhormat. Seruan yang menumbuhkan harga diri. Sebagai akibatnya, timbullah keyakinan bahwa perintah itu tidak akan berat. Sebab hubungan yang paling tinggi antara seorang Mukmin dan Tuhannya adalah hubungan ridha dan kecintaan, sehingga tidak ada sesuatupun yang terasa sulit dan berat.
Allah SWT telah mengatakan bahwa Dia tidak akan memikulkan beban berat kepada hamba-Nya. Suatu perintah dari Allah SWT kepada hamba-Nya dipastikan hamba tersebut sanggup melaksanakannya.
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا
Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā
Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya . . . . . (QS Al-Baqarah Ayat 286)
Barangsiapa yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan, sebagai Ilah, sebagai Rabb, pasti dia menyerahkan diri sepenuhnya, patuh dengan segenap hati dan anggota tubuhnya kepada Allah SWT semata. Dari dalam lubuk jiwa keluarlah ucapan, "Sami'na wa athana." Kami dengar (perintah itu) dan kami taati (jalankan).