REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kasus bunuh diri empat keluarga secara bersamaan dengan cara melompat dari lantai 22 sebuah apartemen, di Penjaringan, Jakarta Utara membuat banyak orang sedih tentang bunuh diri yang kian menjadi tren di masyarakat. Mereka menjadikan bunuh diri sebagai jawaban terakhir menghadapi masalah hidup. Padahal tindakan tersebut sangat dilarang oleh agama.
Ahli tafsir Alquran, Prof Quraish Shihab dalam bukunya "Menjawab ?... Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui" menyebut oranh yang melakukan bunuh diri mereka berstatus sebagai Muslim yang 'ashin (Durhaka) jika mereka seorang beragama Islam.
Status mereka yang melakukan bunuh diri tetap memeluk Islam atau tidak kafir dan musyrik. Maka mendoakan orang yang mati karena bunuh diri tidak dilarang. Karena yang dilarang hanyalah mendoakan bagi orang-orang musyrik. Adapun bunuh diri, kata Prof Quraish tidak mengakibatkan kemusyrikan.
Prof Quraish yang merupakan penulis dari Tafsir Al-Misbah ini menegaskan bunuh diri sangat menyalahi agama. Menghilangkan nyawa sejatinya merupakan urusan Allah SWT karena manusia bukan pemiliknya.
Allah SWT, lanjut Prof Quraish merupakan pemilik alam raya ini dan seisinya. Termasuk nyawa dan jiwa manusia adalah milik Allah SWT. Nyawa tidak boleh dipisahkan dengan jasad kecuali atas izin Allah SWT.
Apa yang dimaksud nyawa tidak boleh dipisahkan kecuali atas izin Allah? Prof Quraish mencontohkan ketika seseorang sedang kondisi perang membela kebenaran atau melaksanakan sanksi hukum.
Melakukan bunuh diri bukan solusi tepat bahkan sangat dilarang agama. Setiap masalah harus dihadapi dengan kepala dingin dan tidak tergoda oleh bisikan syetan. Karena Allah memberikan ujian sesuai kemampuan manusia itu sendiri.
Sebagaimana bunyi Surah Al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā, lahā mā kasabat wa ‘alaihā maktasabat, rabbanā lā tu'ākhiżnā in nasīnā au akhṭa'nā, rabbanā wa lā taḥmil ‘alainā iṣran kamā ḥamaltahū ‘alal-lażīna min qablinā, rabbanā wa lā tuḥammilnā mā lā ṭāqata lanā bih(ī), wa‘fu ‘annā, wagfir lanā, warḥamnā, anta maulānā fanṣurnā ‘alal qaumil-kāfirīn(a).
Artinya: "Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir.”