REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti
Pengamat senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menanggapi ihwal perolehan suara PDIP yang unggul di Provinsi Bali, namun paslon yang diusung, Ganjar Pranowo-Mahfud MD justru kalah. Menurut Siti, ada anomali pada teori efek ekor jas (coattail effect) dalam fenomena tersebut.
Siti mengaku juga mempertanyakan mengenai fenomena di Bali. Ia mengambil gambaran bahwa berdasarkan studi empirik Pilkada di ribuan provinsi, kabupaten, dan kota menunjukkan bahwa dalam Pilkada yang menentukan kemenangan adalah sosok calon kepala daerah. Artinya sosok calon sangat menentukan, sementara partai politik (parpol) hanya menyempurnakan kemenangan.
“Tapi kasus Pilpres dan Pileg serentak 2024 terkesan menunjukkan anomali. Asumsinya teorinya, dengan pemilu serentak itu partai-partai yang mendukung calon yang bisa memenangkan Pilpres akan mendapatkan efek ekor jas atau coattail effect,” kata Siti kepada Republika, Senin (11/3/2024).
Menurut analisisnya, fenomena PDIP menjadi parpol yang unggul sementara suara Ganjar-Mahfud kalah, menggambarkan tidak berjalannya konsep tersebut. Teori itu dinilai tidak berlaku di Provinsi Bali.
“Kejadian di Bali menunjukkan hal yang tidak seiring dengan teori atau asumsi tersebut. PDIP memenangkan suara di Bali, tapi paslon 03 Ganjar-Mahfud kalah, pertanyaannya apa yang salah dengan fenomena Bali tersebut?” ujar Siti.
Lebih lanjut, Siti menilai hal itu karena dinamika perpolitikan di Indonesia yang sangat kontekstual. Secara tegas, Siti menduga fenomena tersebut terjadi karena ada banyak pelanggaran hukum yang terjadi sepanjang Pemilu 2024.
“Sebagaimana yang disampaikan banyak kalangan saat ini sehingga kompetisinya tidak sehat dan politik menghalalkan semua cara,” tegasnya.
Saat ditegaskan kembali bahwa sebab terjadi anomali efek ekor jas di Provinsi Bali, Siti pun menegaskan soal kompetisi yang berjalan secara tidak sehat dalam Pemilu serentak 2024 diduga kuat menjadi faktornya
“Realitasnya seperti itu (kompetisi tidak sehat),” tuturnya.