REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim menegaskan kebijakan Malaysia konsisten menentang kolonialisme, apartheid, pembersihan etnis hingga perampasan posisi negara manapun.
Pernyataan tegas itu PM Anwar sampaikan menjawab pertanyaan media dalam konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz yang diikuti secara daring dari Kuala Lumpur, Selasa (12/3/2024).
Anwar mengatakan posisi kebijakan Malaysia konsisten, bahwa negara itu tidak mendukung atau menentang kolonialisme atau apartheid atau pembersihan etnis maupun perampasan posisi negara manapun, baik itu di Ukraina ataupun di Gaza.
Ia mengatakan tidak dapat menghapus kekejaman dan perampasan yang telah berlangsung selama 40 tahun, yang telah menimbulkan reaksi dan kemarahan dari masyarakat. Ia mengatakan secara kuat menolak narasi, obsesi, seolah-olah seluruh persoalan dimulai dan berakhir pada 7 Oktober 2023.
“Itu tidak dimulai pada 7 Oktober, dan tidak berakhir pada 7 Oktober. Itu mulai empat dekade sebelumnya, dan itu berlanjut setiap hari,” kata Anwar.
Ia mengatakan mendiskusikan banyak isu dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz yang terkadang memiliki perbedaan pandangan, namun saling memiliki kepercayaan yang sama terkait dengan perang yang sedang terjadi di Gaza. Keduanya setuju diadakannya pembebasan tawanan dan gencatan senjata secepatnya, serta pemberian bantuan kemanusiaan untuk Palestina terutama yang berada di Gaza.
Malaysia, kata Anwar, tentu peduli dengan apa yang terjadi pada 7 Oktober 2023 saat konflik antara Hamas dan Israel bermula. Namun dirinya meminta Eropa khususnya Jerman melihat fakta bahwa kekejaman, penindasan dan perampokan atas rakyat Palestina yang sudah terjadi selama empat dekade.
Pada kesempatan yang sama PM Anwar menegaskan Malaysia tidak memiliki hubungan dengan sayap militer Hamas.