Oleh : Fajri Matahati Muhammadin (Dosen Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada)
REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini, sedang viral pernyataan utusan Malaysia di Majelis Umum PBB (disampaikan 9 Januari 2024) menyatakan bahwa Hak Veto seharusnya dihapuskan dari Dewan Keamanan PBB. Pasalnya, hak veto inilah yang menyebabkan banyak solusi untuk Palestina menjadi buntu. Misalnya, sudah banyak draf resolusi menuntut gencatan senjata di Gaza yang didukung mayoritas tapi gagal karena veto oleh Amerika Serikat. Kefrustrasian terhadap hak veto ini sebenarnya sudah berpuluh tahun dirasakan pada berbagai konflik internasional lain, antaranya konflik di Suriah karena berbagai draf resolusi di Dewan Keamanan selalu kena veto juga oleh Rusia dan RRC.
Karena itulah, sebenarnya sudah lama hak veto dikritik oleh banyak pakar dan menjadi "biang masalah" di ruang-ruang kuliah dan meja-meja diskusi. Akan tetapi, apakah menghapus hak veto merupakan jawaban dari permasalahan-permasalahan dunia ini?
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa "hak veto" ada di Pasal 27(3) Piagam PBB. Di sana di atur bahwa keputusan substantif oleh Dewan Keamanan PBB harus didukung oleh sembilan dari 15 anggota DK PBB yang mengambil suara dan harus termasuk kelima anggota tetap: Amerika Serikat, RRC, Rusia, Britania Raya, dan Perancis (singkatnya, disebut Permanent Five P5). Maknanya, jika satu dari lima negara ini menolak (bukan abstain) suatu draf resolusi, maka draf tersebut akan gagal. Sebaliknya, "hak veto" ini tidak dapat digunakan untuk meloloskan resolusi.
Sebagai catatan, Pasal 27(3) Piagam PBB menyatakan bahwa negara yang terlibat konflik yang dibahas wajib abstain dalam resolusi berisi rekomendasi berdasarkan Bab VI Piagam PBB. Tidak ada kewajiban abstain bagi negara peserta konflik dalam resolusi-resolusi berdasarkan Bab VII yang mengatur tindakan-tindakan tegas semisal pemberian sanksi ekonomi dan militer. Selain itu, keputusan terkait masalah prosedural tidak dapat diveto.
Karena itu, menghapuskan hak veto ini harus melalui proses amandemen. Jika kita melihat syarat amandemen menurut Pasal 108 Piagam PBB, kita akan terbentur tembok lagi: wajib didukung minimal dua pertiga anggota PBB yang mengambil suara dan termasuk P5 tadi. Apakah kira-kira ada negara P5 yang akan ikhlas menyerahkan hak vetonya?
Tentu tidak. Sangat naif kalau kita berharap "mereka menyadari dampak buruk hak veto" dan ikhlas menyerahkannya. Mereka sejak awal sadar penuh dampaknya, dan bahwa mereka amat diuntungkan dengan itu. Maka, tampaknya penghapusan hak veto praktis mustahil.
Sebenarnya Malaysia, dalam pernyataannya, mengusulkan solusi pragmatis jangka pendek: hak veto seharusnya didesain baru bisa dilakukan jika didukung setidaknya dua negara P5 alih-alih oleh satu saja. Mungkin perlu kajian lebih lanjut terkait kemungkinan penerimaan usulan ini oleh P5, tapi sekilas rasanya sulit. Hak veto adalah istimewa karena tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Untuk apa melepasnya sedikitpun?
Malaysia juga mengusulkan ide lain, yaitu hak veto seharusnya tidak digunakan ketika terjadi kejahatan-kejahatan besar seperti genosida atau semisalnya. Idenya baik. Akan tetapi, selain masalah kerelaan P5 menerima perubahan tadi, kepraktisannya pun sulit. Siapa yang berhak menentukan apakah terjadi kejahatan besar sehingga veto tidak berlaku?
Penentuan seperti ini mau tidak mau menjadi masalah substantif harus diputuskan melalui pemungutan suara, yang juga bisa diveto oleh P5. Sulit juga untuk mengklaim bahwa penentuan tidak berlakunya veto dalam kasus kejahatan berat ini merupakan "masalah prosedural" sehingga tidak bisa diveto. Pasalnya, dalam prosedural DK PBB, menentukan apakah suatu masalah merupakan masalah prosedural atau substantif, itu sendiri merupakan pertanyaan substantif dan bisa diveto. Pusing, ya?
Tapi, mari berandai sejenak. Misalnya, kita berandai bahwa ditemukan celah hukum untuk menghapus hak veto tanpa persetujuan negara-negara P5. Apakah masalah akan selesai?
Mari kita memasuki lorong waktu kembali ke tahun 1945 pada negosiasi konferensi San Fransisco. Di sinilah Piagam PBB, termasuk hak veto, dirundingkan dan disepakati oleh 50negara yang ada saat itu.
Dari 50 negara yang hadir, hanya lima yang mendapatkan "hak veto" tersebut. Di posisi 45 negara lainnya, akal sehat manapun rasanya akan sulit menerima untuk menyerahkan kekuatan sebesar itu (yaitu hak veto) ke lima negara saja. Apalagi, mereka ini mewakili bangsa dan negara mereka masing-masing yang tentu akan terdampak. Mana mungkin mereka bisa ikhlas! Mengingat jumlah mereka, seharusnya mudah saja mengalahkan hak veto dengan pengambilan suara empat puluh lima melawan lima.
Tapi, kok, hak veto bisa sampai disepakati?
Di sini, Francis Wilcox (1945) menceritakan bahwa saat itu para perwakilan P5 sudah tegas menyatakan bahwa tidak usah ada PBB sekalian saja. Bahkan, Wilcox menceritakan bahwa Thomas Connally (utusan AS) merobek naskah Piagam PBB di podium sambil mengancam negara-negara lain "kalian bisa saja, jika mau, pulang dari konferensi ini dan menyatakan bahwa kalian telah mengalahkan hak veto. Tapi, kalau kalian ditanya 'Piagam PBB-nya mana?', mau jawab apa?"
Posisi P5 saat itu memang di atas angin. Pasca Perang Dunia II, mereka memang muncul sebagai pemenang, dan lebih kuat secara politis dan militer dari negara-negara lain (terutama Amerika Serikat, Britania Raya, dan Uni Soviet). Realistis saja, sebuah organisasi internasional akan sulit untuk berfungsi dengan maksimal jika negara-negara terkuat tersebut tidak mendukungnya.
Mari kita masuki lagi lorong waktu untuk kembali ke tahun 2024. Dunia sudah sangat berubah, dengan hampir 200 negara anggota PBB. Uni Soviet sudah bubar dan diganti Rusia. Republik Cina juga dikudeta dan berubah jadi RRC dan mengalami perkembangan yang sangat drastis. Apakah Britania Raya (pasca Brexit) dan Perancis masih sekuat dulu? Mungkin tidak. Tapi posisi Amerika Serikat sebagai adidaya semakin jauh di atas.
Bumi sudah berputar sangat jauh dari konferensi San Fransisco. Tapi, seringkali perputaran akan membawa kita kembali ke titik yang sama. Mungkin tidak sama persis, tapi kemiripannya bisa memicu déjà vu.
Pelanggaran HAM besar-besaran terhadap bangsa Uyghur dilakukan oleh RRC, yang juga mendukung penindasan junta militer terhadap etnus Rohingya dan masyarakat Myanmar oleh junta militer, serta diktator Korea Utara terhadap masyarakatnya sendiri. Krisis besar di Suriah dan Ukraina pun akan sulit diselesaikan, berkat kelakuan Rusia. Sedangkan darah warga Afghanistan, Iraq, dan terutama Palestina juga tertumpah banyak berkat kontribusi Britania Raya, Perancis, dan terutama Amerika Serikat. Perlu diketahui, yang saya sebut ini hanya sampel saja. Tentu lebih banyak konflik dan masalah dunia yang, jika ditelusuri, akan ketemu mereka mereka ini lagi.
Perlu diingat bahwa bukan hanya militer-militer terkuat dunia mayoritasnya adalah milik negara-negara P5 (terutama Amerika Serikat) atau aliansi mereka. Sekali lagi terutama Amerika Serikat dan aliansinya, mereka mengkontribusikan dana yang besar sekali untuk operasional PBB. Sedangkan PBB bergerak dalam banyak sekali bidang termasuk perlindungan pengungsi, pangan, pembangunan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
Jika belajar dari sejarah, setidak-tidaknya minat P5 untuk mendukung PBB akan menurun drastis jika hak veto hilang. Belum lama ini, dalam perkara Afrika Selatan melawan israel, Mahkamah Internasional mengeluarkan putusan yang terkesan galak tapi tidak terlalu signifikan saja, Amerika Serikat dan sebagian sekutunya langsung "menghukum" PBB dan Palestina dengan mencabut banyak sekali dana dari lembaga PBB yang menangani berjuta-juta pengungsi Palestina yaitu UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East).
Apalagi jika PBB mencabut kekuatan terbesar yang dimiliki P5 yang merupakan "deal breaker" pada San Fransisco Conference 1945 dulu? Entah akan seberat apa "hukuman" mereka terhadap PBB jika veto sampai dihilangkan. Jika tahun 1945 dulu Thomas Connally merobek naskah Piagam PBB, apa kiranya yang bisa “disobek” oleh Joe Biden?
Maka pertanyaannya, pun dengan hilangnya veto, apa yang akan berubah? Mungkin hanya satu hal: akan lahirnya banyak resolusi yang bunyinya tegas dan sesuai selera kita, tapi tidak akan ada yang mampu terlaksana.
Paparan ini bukan berarti bahwa hak veto tidak bermasalah. Bukannya kita menyukai adanya hak veto. Hanya saja, perlu kita dudukkan masalahnya dengan lengkap. Masalah hak veto ini hanyalah gejala kecil saja, sedangkan tatanan dunia sekarang inilah penyakit yang sesungguhnya.
Belajar lagi dari sejarah, munculnya tatanan dunia yang sakit seperti ini adalah melalui proses ekstrem. Negara-negara P5 tidak mungkin se-jumawa itu tanpa terjadinya Perang Dunia I dan II, yang terjadi bukan absen konteks historisnya juga.
Barangkali perubahan drastis hanya akan terjadi dengan proses yang sama atau lebih ekstrem, dan itupun tidak dijamin akan lebih baik. Sulit untuk tidak pesimis, tapi kita tetap bisa berharap dan berikhtiar seperti Malaysia.