Oleh: Denny JA
“Setiap hari dengan pahat,kubentuk takdirku sendiri.Aku adalah tukang kayu bagi hidupku.Telah kuniatkan memahat hidup yang bermakna.”
Ini renungan Jalaluddin Rumi.Seperti cat yang tebal puisi Rumi.Kukuaskan cat itu,memberi warna jantungku, mengisi paruku,mengaliri darahku,melukis hatiku.
Saat itu aku lemah.Hidupku hampa.Nasibku merana.Temanku hanya air mata.Kuperlu makna.Puisi datang, mengisi dada.
Kisah ini kuceritakan kepada Pak Polisi.Lima jam aku diinterogasi.Ingin tahu pak polisi.Mengapa Ayah, Ibu dan dua adikku bunuh diri.Mengapa mereka melompat dari gedung yang tinggi.
Kata polisi, di lift itu,Ayah mencium adik dan ibu.Di lift itu, semua handphone dikumpulkan ibu.Mereka naik ke lantai itu,dengan tujuan yang satu.
Mereka nampak baik- baik saja.Seperti keluarga yang bahagia.Bahagia untuk mati bersama.
Lalu, terdengar bunyi keras sekali.Suara yang jatuh dari tempat yang tinggi.
Ya, Tuhan, empat tubuh terkapar , mati.Empat tubuh jatuh dari atas, mati.Empat tubuh melompat sendiri, mati. (1)
Kubaca berita.Begitu banyak analisa.Itu karena kesulitan ekonomi.Bukan, itu karena hilangnya jaring sosial sebagai pengaman.Bukan, itu karena negara tak sediakan fasilitas bagi warga, warga yang merana.
Kukatakan kepada polisi.Banyak keluarga yang lebih sedih.Tak terbilang keluarga yang lebih perih.Bukan itu penyebabnya.
Ayah dan Ibu hanya kehilangan harapan.Makna tak lagi ditemukan.Dua adikku diyakinkan.Ada hidup yang berbeda di balik awan.
Polisi bertanya menyelidiki?Mengapa kamu tak ikut mati?Kujawab, aku diselematkan oleh puisi.Polisi semakin tak mengerti.
Tengah malam, aku berdoa.Untuk dua adikku, ibu dan Ayah.Deras mengalir ini air mata.kurenungkan hikmah.
Kembali kubaca puisi Rumi.“Jika datang mala petaka,jika datang derita padamu,sambutlah ia sebagai tamu yang agung.”
“Sangat mungkin ia sengaja dikirim Tuhan padamu,untuk pertumbuhanmu.Pencerahan datang padamu,acapkali lewat luka.”
Jakarta, 13 Maret 2024