Jumat 15 Mar 2024 12:37 WIB

Ombak Laksana Gunung Saat Banjir Era Nabi Nuh, Mengapa Bisa Terjadi?

Alquran menginformasikan bahwa telah terjadi banjir yang besar di zaman Nabi Nuh.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
 Ombak Laksana Gunung Saat Banjir di Era Nabi Nuh, Mengapa Bisa Terjadi?. Foto:  Bencana tsunami (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Ombak Laksana Gunung Saat Banjir di Era Nabi Nuh, Mengapa Bisa Terjadi?. Foto: Bencana tsunami (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Alquran menginformasikan bahwa telah terjadi banjir yang sangat besar di zaman Nabi Nuh Alaihissalam. Dalam peristiwa itu, Nabi Nuh Alaihissalam diperintahkan membangun bahtera (kapal) yang besar.

Seperti umum diketahui dalam kisahnya, dengan muatan bahtera (kapal) yang begitu banyak dan berat, ditambah ukurannya yang besar, tentu butuh air banjir yang sangat besar untuk dapat mengangkat bahtera tersebut hingga puncak Gunung Judi. 

Baca Juga

Merujuk kembali ke Surat Hud Ayat 42 dalam Alquran.

وَهِىَ تَجْرِى بِهِمْ فِى مَوْجٍ كَٱلْجِبَالِ وَنَادَىٰ نُوحٌ ٱبْنَهُۥ وَكَانَ فِى مَعْزِلٍ يَٰبُنَىَّ ٱرْكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلْكَٰفِرِينَ

Wa hiya tajrī bihim fī maujin kal-jibāl(i), wa nādā nūḥunibnahū wa kāna fī ma‘ziliy yā bunayyarkam ma‘anā wa lā takum ma‘al-kāfirīn(a).

Bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung-gunung. Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." (QS Hud Ayat 42)

Dapat dikatakan bahwa banjir yang terjadi memanglah sangat besar dan dahsyat, besar gelombangnya seperti gunung-gunung. Asal air banjir besar di zaman Nabi Nuh dapat dicermati dalam dua firman Allah berikut ini.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

حَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءَ اَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّوْرُۙ قُلْنَا احْمِلْ فِيْهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَاَهْلَكَ اِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ اٰمَنَ ۗوَمَآ اٰمَنَ مَعَهٗٓ اِلَّا قَلِيْلٌ

Ḥattā iżā jā'a amrunā wafārat-tannūr(u), qulnaḥmil fīhā min kullin zaujainiṡnaini wa ahlaka illā man sabaqa ‘alaihil-qaulu wa man āman(a), wa mā āmana ma‘ahū illā qalīl(un).

(Demikianlah,) hingga apabila perintah Kami datang (untuk membinasakan mereka) dan tanur (tungku) telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalamnya (bahtera itu) dari masing-masing (jenis hewan) sepasang-sepasang (jantan dan betina), keluargamu kecuali orang yang telah terkena ketetapan terdahulu (akan ditenggelamkan), dan (muatkan pula) orang yang beriman.” Ternyata tidak beriman bersamanya (Nuh), kecuali hanya sedikit. (QS Hud Ayat 40)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَفَتَحْنَآ اَبْوَابَ السَّمَاۤءِ بِمَاۤءٍ مُّنْهَمِرٍۖ  

وَّفَجَّرْنَا الْاَرْضَ عُيُوْنًا فَالْتَقَى الْمَاۤءُ عَلٰٓى اَمْرٍ قَدْ قُدِرَ ۚ

Lalu, Kami membukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Kami pun menjadikan bumi menyemburkan banyak mata air. Maka, berkumpullah semua air itu sehingga (meluap dan menimbulkan) bencana yang telah ditetapkan. (QS Al-Qamar Ayat 11-12).

Gabungan ayat-ayat Alquran tersebut menjelaskan bahwa air banjir besar itu berasal baik dari langit, yaitu hujan yang sangat lebat dan deras, serta berasal dari air yang memancar dari bumi. 

Menarik untuk mencermati interpretasi yang dikemukakan oleh Muhajir (1976) terhadap Surat Hud Ayat 40 maupun Surah Al-Qamar Ayat 11-12 di atas. Menurutnya, banyak terjadi salah interpretasi dalam memahami firman Allah, “dan tanur (dapur) telah memancarkan air” dan “Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air.” 

Muhajir (1976) dalam bukunya, Lesson from the Stories of The Quran, punya pandangan lain. Dia menyatakan bahwa kata bahasa Arab "fara" jika dikaitkan dengan air berarti memancar keras dari bumi, dan kata "at-tannur" tidak selalu berarti kompor, ia bisa juga berarti cadangan air atau tempat di mana air dari lembah berkumpul. 

Maka dengan demikian, terjemahan yang betul dari kedua ayat di atas menurut Muhajir (1976) adalah “air memancar keras dari lembahnya.” Dengan demikian, banjir besar terjadi sebagai akibat hujan yang sangat deras dan lebatnya, akibat “pintu-pintu langit dibuka” oleh Allah. 

Air hujan itu masuk ke lembah tempat kaum Nabi Nuh tinggal, dan menimbulkan pusaran topan yang dahsyat, sehingga air memancar keras dari lembahnya. Dengan demikian, air banjir besar itu, menurut Muhajir, tetap saja berasal dari langit. Tampaknya lembah tempat tinggal Kaum Nuh berupa cekungan.

Pada Surat Al-Qamar Ayat 12 disebutkan bahwa air banjir besar itu berasal dari pintu-pintu langit yang dibuka oleh Allah. Apa yang dimaksud dengan pintu-pintu langit, tidak ada penjelasan tentangnya. 

Balsieger dan Sallier (1976), mengutip pendapat Donald Patten dalam bukunya, Cataclysm from Space, menyatakan bahwa kemungkinan besar sebelum tarikh banjir besar, bumi diselimuti oleh lapisan kanopi air dalam jumlah yang besar. Hujan yang menyebabkan banjir besar diperkirakan sebagai akibat dari hancurnya lapisan kanopi air itu. 

Mungkinkah itu yang dimaksud dengan firman Allah, “Kami bukakan pintu-pintu langit” adalah dihancurkannya lapisan kanopi air itu? Wallahu a‘lam.

Dilansir dari buku Kisah Para Nabi Pra Ibrahim Dalam Perspektif Alquran dan Sains yang disusun Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2012.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement