REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosok Paul Alexander yang meninggal dunia pada usia 78 tahun pekan ini sebelumnya telah bertahan hidup selama lebih dari 70 tahun dengan bantuan "paru-paru besi". Alat itu telah menyelamatkan nyawa ribuan orang yang menderita polio.
Apa kaitan antara polio dan masalah paru-paru? Polio, yang secara medis dikenal sebagai poliomielitis, memang tidak secara langsung merusak paru-paru. Namun, virus polio menyerang neuron motorik di sumsum tulang belakang.
Hal itu dapat melemahkan atau memutus komunikasi antara sistem saraf pusat dan otot. Kelumpuhan yang terjadi berarti otot-otot yang memungkinkan manusia bernapas tidak lagi berfungsi. Sama seperti yang terjadi pada Alexander, yang diafragmanya tidak bisa lagi berfungsi sehingga dia membutuhkan paru-paru besi.
Dikutip dari laman Daily Mail, Jumat (15/3/2024), paru-paru besi memungkinkan Alexander bernapas setelah dia lumpuh total saat masih kanak-kanak akibat polio. Paru-paru besi dirancang pada tahun 1920-an oleh tim di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Alat itu pertama kali digunakan di Rumah Sakit Anak Boston untuk menyelamatkan nyawa seorang anak perempuan berusia delapan tahun pada 1928. Selanjutnya, paru-paru besi segera menjadi fitur utama di bangsal polio. Ada sekitar 1.000 paru-paru besi digunakan di AS dan 700 digunakan di Inggris.
Alexander menyebut alat itu sebagai "kuda besi tua". Cara kerjanya adalah menyedot udara keluar dari silinder melalui serangkaian alat penghembus kulit yang ditenagai oleh motor. Tekanan negatif yang diciptakan oleh ruang hampa memaksa paru-paru mengembang.
Ketika udara dipompa kembali, perubahan tekanan dengan lembut mengempiskan paru-paru. Proses itu membantu membuat penderita polio yang lumpuh total tetap hidup. Meskipun paru-paru besi dibuat agar tahan lama, awalnya alat tersebut hanya dimaksudkan untuk digunakan selama dua pekan, sebatas memberikan kesempatan bagi tubuh untuk pulih.
Dalam sebuah wawancara pada tahun 2020, Alexander mengungkapkan bahwa setelah tiga tahun memakai paru-paru besi, dia dapat terlepas dari alat itu selama beberapa jam setelah mempelajari 'pernapasan glossopharyngeal'. Teknik yang dia juluki 'pernapasan katak' itu melibatkan pengambilan napas lebih besar dari biasanya.
Tindakan menelannya mencerminkan katak yang menelan ludah. Dia mengeklaim tindakan tersebut dengan cepat menjadi memori otot dan memungkinkan dia meninggalkan paru-parunya untuk waktu yang singkat dan bisa duduk di kursi roda. Namun, pada masa-masa akhir hidupnya, dia tidak mampu lepas dari paru-paru besi selama lebih dari lima menit.