REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana pemerintah menempatkan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri dalam jabatan politik, serta sipil dinilai akan mengembalikan sistem dwifungsi angkatan bersenjata. Imparsial mengatakan mengembalikan dwifungsi angkatan bersenjata menyimpang dari mandat reformasi.
Bahkan dikhawatirkan akan mengembalikan pemerintahan Indonesia ke sistem yang otoriterianisme. Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, TNI dan Polri tak memiliki mandat maupun kompetensi untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Hal itu lantaran fungsinya yang khusus di bidang pertahanan, dan keamanan, serta penegakan hukum.
“Kedua lembaga itu (TNI-Polri) sepatutnya dan seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik, dan menduduki jabatan-jabatan sipul. Karena itu bukan fungsi dan kompetensinya,” kata Gufron dalam siaran pers yang diterima wartawan Jumat (15/3/2024).
Menurut Gufron, dengan rencana pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan mengembalikan peran para anggota TNI-Polri aktif untuk mengisi jabatan sipil merupakan kebijakan yang menyalahi jati diri, peran, serta fungsi profesionalitas TNI-Polri.
“Kami memandang salah-satu amanat reformasi adalah mencabut peran TNI-Polri dalam urusan politik dan mengembalikan fungsi mereka menjadi militer dan aparat penegak hukum yang profesional. Dengan rencana mengembalikan peran TNI-Polri dalam jabatan sipil maupun politik itu, maka hal tersebut semakin membuktikan bahwa kebijakan pemerintah saat ini sudah melenceng jauh dan bertolak belakang dengan semangat reformasi,” ujar Gufron.
Peran TNI-Polri dalam jabatan sipil, kata Gufron, selama ini, pun sudah terakomodir dengan mengandalkan para perwira aktif untuk mengisi pos-pos jabatan yang lebih strategis. Terutama dibidang pertahanan di Kementerian Pertahanan (Kemenhan), di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Sekmil Presiden, Intelijen Negara, pun Badan Sandi Negara, serta di Dewan Pertahanan Nasional.
Bahkan publik mempercayakan kepada TNI-Polri dalam masalah khusus penanggulangan narkotika, serta di level peradilan di Mahkamah Agung (MA). Imparsial mencatat sejak 2019, terdapat 1.592 personel TNI aktif yang mengisi jabatan-jabatan sipil. Diketahui 29 jabatan di antaranya ilegal karena dinilai menyalahi Undang-undang (UU) TNI.
Imparsial juga mengutip catatan Ombudsman yang mendapati adanya 27 anggota TNI aktif yang ditempatkan di jabatan-jabatan sipil BUMN. Sebab itu, kata Gufron, pemerintah Presiden Jokowi, tak lagi memperluas peran serta anggota TNI-Polri aktif untuk dapat mengisi pos-pos jabatan sipil, maupun politik. Karena dikhawatirkan hal tersebut mengembalikan sistem pemerintahan Indonesia ke model otoritarianisme, dan jauh dari model demokrasi yang dimandatkan reformasi 1998.
“Kami memandang bahwa penempatan TNI dan Polri aktif ini diakamodir, jelas hal itu akan mengancam demokrasi dengan mengembalikan dwifungsi ABRI seperti pada masa-masa otoritarian orde baru,” kata Gufron.
Pemerintah, melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas beberapa hari lalu menyampaikan sedang menyusuan Peraturan Pemerintah (PP) tentang pelaksanaan teknis atas revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam PP tersebut, dikatakan akan mengatur tentang penempatan anggota TNI maupun Polri dalam posisi-posisi, dan jabatan sipil. PP tersebut, akan menjadi dasar dan legalitas tradisi pemerintah yang selama ini menunjuk perwira-perwira aktif di TNI maupun Polri untuk beralih peran sebagai pejabat publik di sejumlah kementerian maupun lembaga.