SumatraLink.id (REPUBLIKA NETWORK) – Seseorang diperintahkan puasa, menahan dari makan dan minum serta yang membatalkan pada siang hari, salah satunya melatih kesabaran dan kepedulian. Sabar dalam tidak menikmati makanan/minuman yang halal, dan peduli atau empati dengan orang di luar dirinya.
Ketika seseorang menjalani kesabaran tentunya untuk dirinya sendiri dari melakukan sesuatu, namun ketika seseorang diuji dan dicoba dengan kepedulian, tentunya untuk orang lain di luar lingkungan dirinya. Patutlah kiranya dalam bulan Ramadhan ini, puasa dapat menjadikan diri kita orang yang sabar dan peduli.
Dalam hidup ini, wajar bila seseorang ingin kehidupannya menjadi orang kaya. Namun, kekayaan tersebut tidaklah menjadikan dirinya kikir atau pelit atau bakhil dengan orang lain. Sifat manusia itu aslinya bakhil, bila mendapat rezeki juga pelit. “...Manusia itu menurut tabiatnya kikir,” (QS. An-Nisa: 128). “...dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir,” (QS. Al-Ma’arif: 21).
Justru kekayaan itu seharusnya membuatnya lebih peduli kepada orang lain karena nikmat rezeki yang diberikan Allah Subhanahu wata’ala (SWT) bermanfaat bagi ia dan orang lain. Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi wassalam (SAW) bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia,” (HR. Ahmad, Thabrani, Ad-Daruqutni, dihasankan Albani).
Ketika seseorang kaya atau sudah merasa “menggenggam”’ dunia, tentunya setan tidak akan berhenti mengiming-imingi lagi tindakan selanjutnya, sehingga lupa dengan orang sekitarnya. Kondisi seperti ini, membuat seseorang larut dalam kehidupan dunia dan lupa kematian. Ia merasa kekayaan yang dimiliki semata-mata atas kerja keras dirinya sendiri tanpa melibatkan Allah SWT.
Ali bin Abi Thalib Rodhiyallahuanhu (RA) berkata, “Akan datang suatu masa yang sangat kritis kepada manusia yaitu ketika orang-orang mampu dan banyak harta mencengkram erat-erat apa yang dimiliki oleh tangannya (tidak suka memberi bantuan), dan tidak ada orang yang suka mengingatkan perbuatan salah.”
Baca juga: Ramadhan Bulan Alquran, Ini Nasehat Syekh Muhammad Jaber
Sifat kikir lahir dari kecintaan kepada harta berlebihan. Sebab orang mencintai harta ada dua. Pertama, kecintaan kepada syahwat (hasrat ingin memiliki). Kedua, kecintaan pada harta benda itu sendiri. Hawa nafsu atau syahwat ingin memiliki sesuatu meski sudah ada dan atau berlebih menjadi perbuatan tabzir (sia-sia). Sedangkan cinta pada harta itu sendiri membuat seseorang senang bila ada harta yang menumpuk di sisinya.
Mengenai harta, Hadist Qudsi diriwayatkan dari Mutharrif dari bapaknya RA, ia berkata, “Aku mendatangi Nabi SAW ketika beliau sedang membaca, 'Bermegah-megahan telah melalaikan kalian' (QS. At-Takatsur). Rasulullah SAW bersabda, 'Anak Adam berkata, 'Hartaku, hartaku.' Padahal tidak ada harta bagimu, wahai Anak Adam, kecuali apa yang engkau makan hingga habis, yang engkau pakai hingga usang, atau yang engkau sedekahkan maka engkau mendapatkan pahalanya,” (HR Muslim).
Sesungguhnya harta yang seseorang miliki justru apa yang dimakan dan dipakai, serta yang disedakahkan. Sesuatu yang dimakan akan hilang, dan sesuatu yang dipakai akan usang, dan terakhir sesuatu yang disedekahkan, disinfakkan, atau diwakafkan inilah harta yang sejatinya dan kekal sampai akhirat.
Masihkah sifat kikir atau bakhil merasuki jiwa orang yang berharta? Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua perkara yang tidak berkumpul dalam jiwa seseorang mukmin yaitu kikir dan berbudi buruk,” (HR. Tirmidzi).
Hanya sifat kedermawaan yang dekat dengan Allah SWT, dekat dengan manusia, dan jauh dari api neraka. Sebaliknya sifat kikir, jauh dari Allah SWT, jauh dari manusia, tapi dekat dengan api neraka. Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Orang kikir yang kaya lebih miskin dari orang kikir yang miskin.”
Dalam Alquran, Allah SWT berfirman, “Sekali kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. Ali Imran: 180).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, janganlah orang bakhil itu mengira harta kekayaan yang dimilikinya bermanfaat baginya, justru harta itu memberikan mudharat baginya. Kesudahan harta benda yang dimiliki orang kikir itu pada hari kiamat akan dikalungkan di lehernya.
Baca juga: Berbuka dan Sahur dengan Kurma, Tahukah Keistimewaan Kurma dan Pohonnya?
Orang yang memiliki harta tapi tidak menzakatkan hartanya setelah nisab (batas setahun) maka pada hari kiamat akan datang ular bertaring dua mengalungi lehernya dan mematuk dua tulang rahang orang itu dan berkata, “Aku adalah harta kekayaanmu, aku adalah simpananmu.”
Terapi mengobati sifat kikir menurut ulama ada dua. Pertama, bila dipengaruhi hawa nafsu dengan harta disembuhkan dengan sifat qonaah (sesuai dengan kebutuhan tidak berlebihan). Kedua, bila cinta harta berlebihan obatnya banyak-banyak mengingat kematian. Bukankah kematian seseorang nasehat utama bagi orang hidup, seperti ucapan Umar bin Khotob RA. Orang muslim yang mati dikubur harta miliknya tidak ikut dikubur.
Dari semua itu, terpenting bila memiliki harta ada dua pertanyaan, pertama dari mana harta diperoleh (halal atau haram), dan dibelanjakan ke mana dan untuk apa. Semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak.
Baca juga: Sebab Puasa Ramadhan Masuk Surga Lebih Dulu dari Mujahid
Kalau ada yang mengatakan, orang kikir akan kaya atau sebaliknya orang dermawan akan miskin. Itu hanya tipu muslihat. Intinya, hidup di dunia ini bila mendapat kenikmatan (harta) bersyukur, bila mendapat musibah (kekurangan harta) bersabar. Semoga dengan puasa Ramadhan dan puasa sunnah lainnya dapat menjiwai diri dengan kesabaran dan kepedulian sesama. Allahua’lam bisahwab. (Mursalin Yasland)