Ahad 17 Mar 2024 13:57 WIB

Dunia Menanti Langkah Putin di Masa Jabatan Kelimanya

Putin akan menjalani masa jabatan yang lalu tanpa rintangan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Presiden Rusia Vladimir Putin memberikan penghormatan terakhirnya kepada Ketua Mahkamah Agung Rusia Vyacheslav Lebedev saat upacara perpisahan di Moskow, Rusia, Rabu, (28/2/2024).
Foto: Alexei Nikolsky, Sputnik, Kremlin Pool Photo
Presiden Rusia Vladimir Putin memberikan penghormatan terakhirnya kepada Ketua Mahkamah Agung Rusia Vyacheslav Lebedev saat upacara perpisahan di Moskow, Rusia, Rabu, (28/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Hanya ada sedikit drama dalam pemilihan umum Rusia. di mana Vladimir Putin akan kembali menjabat enam tahun lagi. Apa yang ia lakukan setelah terpilih kembali yang akan menarik perhatian dan bagi banyak pengamat, menimbulkan kecemasan.

Pemilihan umum yang akan berakhir pada Ahad (17/3/2024) hampir dapat dipastikan Putin akan tetap berkuasa sampai 2030. Artinya ia memimpin Rusia selama tiga dekade baik sebagai presiden maupun perdana menteri.

Baca Juga

Masa jabatan yang panjang dan tekanan pada oposisi dalam negeri membuat kekuasaan Putin sangat kuat dan mungkin tak terkendali. Posisi ini didukung daya tahan ekonomi Rusia yang kuat, meski didera berbagai sanksi Barat usai invasi ke Ukraina.

Di medan perang, pasukan Rusia juga meraih sejumlah kemajuan dalam beberapa bulan terakhir. Disusul melemahnya bantuan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain ke Kiev dan meningkatnya skeptisisme di beberapa negara Barat terhadap sikap progresif yang sejalan dengan dorongan Putin terhadap “nilai-nilai tradisional.”

Singkatnya Putin akan menjalani masa jabatan yang lalu tanpa rintangan. Hal ini dapat mendorong tindakan baru yang besar. "Pemilihan umum Rusia tidak begitu penting dibandingkan apa yang terjadi setelahnya. Putin kerap menunda langkah-langkah tak populer sampai setelah pemilihan umum," kata pakar politik pasca-Komunis dari Cornell University Bryn Rosenfeld, Kamis (14/3/2024).

Langkah populer yang mungkin akan Putin ambil setelah pemilihan umum adalah mobilisasi pasukan cadangan kedua ke Ukraina. Mobilisasi pasukan cadangan pertama pada September 2022 memicu unjuk rasa dan gelombang perpindahan warga Rusia keluar negeri.

Betapapun tidak populernya mobilisasi kedua ini, hal ini juga dapat menenangkan kerabat tentara yang direkrut 18 bulan lalu. Beberapa orang di Rusia percaya hal itu bisa terjadi.

"Para pemimpin Rusia sekarang berbicara tentang 'mengkonsolidasikan seluruh masyarakat Rusia di sekitar kebutuhan pertahanannya,'" kata penasihat senior di lembaga pemikir RAND Corporation Brian Michael Jenkins.

"Arti sebenarnya dari frasa ini tidak sepenuhnya jelas, tetapi ini menunjukkan pemimpin Rusia memahami  perang yang digambarkan Putin akan berlangsung lama, dan oleh karena itu sumber daya harus dikerahkan," tambahnya.

"Dengan kata lain, masyarakat Rusia harus diorganisir untuk menghadapi perang yang berkelanjutan." Peneliti senior Carnegie Russia Eurasia Center Tatiana Stanovaya mengatakan, Putin tidak membutuhkan mobilisasi pasukan karena banyak warga Rusia dari daerah miskin yang mendaftar untuk berperang demi pendapatan karena terbatasnya peluang di daerah asal mereka.

Selain itu, katanya, Putin yakin Rusia unggul dalam perangnya di Ukraina. Sehingga ia akan terus bersikeras satu-satunya cara mengakhiri konflik bagi Ukraina adalah duduk di meja negosiasi. "Yang mana arti sebenarnya adalah menyerah," kata Stanovaya.

Meski bantuannya ke Kiev masih tertinggal dibandingkan Washington tapi Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Menteri Luar Negeri Polandia Radek Sikorsi mengangkat hipotesis pengiriman pasukan ke Ukraina. Pernyataan ini mungkin memotivasi Putin menguji tekad Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Direktur eksekutif  Davis Center for Russian and Eurasian Studies di Harvard University, Alexandra Vacroux berpendapat dalam beberapa tahun Rusia dapat menguji komitmen NATO pada Pasal 5 yang menjamin serangan ke satu negara anggota merupakan serangan ke semua negara anggota NATO.

"Saya pikir Putin tidak akan berpikir ia harus lebih kuat secara fisik, militer dibandingkan semua negara anggota. Ia hanya butuh mereka lebih lemah dan terpecah belah. Dan jadi pertanyaan baginya, dibandingkan terlalu khawatir untuk membuat diri sendiri lebih kuat, bagaimana membuat semua orang menjadi lebih lemah," kata Vacroux.

"Jadi untuk mencapai itu, anda harus menemukan solusi di mana anda dapat menguji Pasal 5 dan bila responnya lemah atau tidak jelas "maka tunjukkan itu, NATO hanyalah harimau kertas," kata Vacroux.

Ia mengatakan, Rusia dapat melakukan tes tersebut tanpa tindakan militer terang-terangan. "Anda bisa bayangkan, salah satu pertanyaan besarnya adalah serangan siber seperti apa yang merupakan ancaman serangan?” kata Vacroux.

Meski bukan anggota NATO tapi Maldova semakin khawatir menjadi target Rusia. Sejak invasi Moskow ke Ukraina negara itu menghadapi krisis yang menimbulkan ketakutan di Chisinau, negara tersebut juga berada dalam sasaran Kremlin.

Kongres di wilayah separatis Transnistria, Moldova, di mana Rusia menempatkan sekitar 1.500 tentara sebagai penjaga perdamaian nominal, meminta "perlindungan" diplomatik dari ke Moskow karena dugaan meningkatnya tekanan dari Moldova. Profesor hubungan internasional Moldova di Oakland University Cristain Cantir mengatakan permintaan itu berpotensi menyisakan "banyak ruang untuk eskalasi."

"Saya pikir akan berguna untuk melihat kongres dan resolusi tersebut sebagai peringatan bagi Moldova bahwa Rusia mungkin akan terlibat lebih jauh di Transnistria jika Chisinau tidak memberikan konsesi," katanya.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement