Ahad 17 Mar 2024 14:30 WIB

CSIS: Faktor Manusia Perparah Kerusakan Laut China Selatan

Negara yang bersengketa berlomba membangun pos terdepan untuk menegaskan klaim.

Red: Setyanavidita livicansera
FILE - Pemandangan dari puncak Gunung Bi setinggi 220 meter (670 kaki) menghadap ke bawah pada landasan tunggal bandara yang menjorok ke laut di Beigan di gugusan pulau Matsu, lepas pantai utara Taiwan, 22 Agustus 2012. Taiwan
Foto: AP/Wally Santana, File
FILE - Pemandangan dari puncak Gunung Bi setinggi 220 meter (670 kaki) menghadap ke bawah pada landasan tunggal bandara yang menjorok ke laut di Beigan di gugusan pulau Matsu, lepas pantai utara Taiwan, 22 Agustus 2012. Taiwan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengerukan dasar laut untuk pembangunan pulau baru serta penangkapan masif kerang raksasa, menjadi faktor utama yang memperburuk kerusakan Laut China Selatan dan mengancam keberlangsungan spesies. Hal ini disampaikan lembaga riset Amerika Serikat, CSIS.

Peneliti Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Monica Sato mengatakan, negara-negara bersengketa di Laut China Selatan berlomba-lomba membangun struktur dan pos terdepan di perairan untuk menegaskan klaim atas kawasan laut. “Namun, kami mendapati, pengerukan laut dan pembangunan pulau merugikan dan merusak lingkungan karena hal tersebut menghilangkan struktur laut yang membantu karang hidup dan mereparasi diri dari waktu ke waktu,” kata Sato dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (15/3/2024).

Baca Juga

Ia menyoroti, dari 2013 hingga 2017, China membangun pulau dengan metode cutter suction yang mengoyak permukaan dasar laut dan menyalurkannya ke daratan baru, sehingga merusak karang dan membunuh ikan-ikan. Meski demikian, Sato mengatakan, Vietnam kemudian justru mengikuti langkah China menggunakan metode cutter suction untuk membangun pos laut terdepannya.

Selain karena pembangunan pulau baru, peneliti tersebut mengatakan bahwa penangkapan kerang raksasa (giant clam) secara masif juga menjadi faktor lain yang memperburuk kerusakan lingkungan di Laut China Selatan. Ia menjelaskan, kerang raksasa harus dilindungi karena merupakan spesies yang rentan punah.

Apalagi, ada sekitar 10 spesies yang hanya dapat ditemukan di Laut China Selatan, sehingga semakin menegaskan pentingnya melindungi spesies itu. "Praktik tersebut marak dilakukan oleh nelayan China pada periode 2012—2015 sebelum otoritas China berupaya menertibkan para nelayan di tahun 2017," lanjut Sato.  

“Penangkapan kerang raksasa dilakukan oleh nelayan China dan menjadi populer pada 2012 karena komoditas tersebut menjadi alternatif untuk gading gajah yang semakin sulit didapat,” ucap Sato. Meski ada upaya penertiban tersebut, lanjutnya, penangkapan kerang raksasa masih tetap berlangsung, serta citra satelit menunjukkan kerusakan yang terjadi di terumbu karang Laut China Selatan karena penangkapan tersebut sudah masif.

Apabila tidak ada tindakan konkret untuk menghentikan aktivitas tersebut, dikhawatirkan kerusakan ekosistem Laut China Selatan jadi semakin sulit ditangani dan mengancam semakin banyak baik spesies maupun karang di ekosistem tersebut

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement