REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jayashree Owhal, seorang pemotong tebu berusia 45 tahun dari negara bagian Maharashtra di India barat, membuat keputusan yang mengubah hidupnya ketika rasa sakit akibat kram menstruasi yang dialaminya semakin tak tertahankan.
“Saya pergi menemui dokter kandungan di Beed. Dia menyarankan agar saya berhenti mengangkat barang-barang berat, tetapi itu adalah satu-satunya sumber pendapatan kami. Jadi saya memutuskan untuk melakukan histerektomi, dan menghilangkan rasa sakit ini setiap bulannya,” kata Owhal.
Owhal adalah satu dari ratusan perempuan di distrik Beed yang terpaksa melakukan histerektomi atau prosedur pengangkatan rahim, demi mendapatkan upah harian sebagai pekerja tebu. Ini bukan satu-satunya kengerian yang diderita perempuan. Para ibu yang baru melahirkan, yang terpaksa kembali bekerja di ladang bersama bayi mereka, telah kehilangan bayinya karena kecelakaan fatal.
Beed adalah salah satu wilayah yang terkena dampak kekeringan terburuk di India. Berkurangnya curah hujan dan meningkatnya suhu panas, yang disebabkan oleh krisis iklim global, telah memperburuk kondisi ini. Wilayah ini mengalami kekeringan selama empat tahun terpisah antara 2010-2019, menurut data pemerintah.
Hal ini telah menghancurkan pertanian lokal sehingga pendapatan dari pertanian tidak dapat diandalkan oleh sebagian besar penduduk Beed. Selama delapan bulan setiap tahun, pertanian terhenti total di wilayah tersebut karena tidak adanya hujan.
Hal ini telah memaksa banyak perempuan meninggalkan rumah mereka dan melakukan perjalanan ke distrik Kolhapur, yang berjarak lebih dari 400 kilometer, untuk bekerja di industri tebu yang menuntut fisik tinggi. Lebih dari 1,5 juta pekerja dari negara bagian Maharashtra berangkat ke ladang-ladang tebu setiap tahun, menurut data pemerintah.
Meskipun perempuan merupakan 63 persen dari tenaga kerja pertanian di India, sebagian besar perempuan tetap terpinggirkan di sektor ini, dengan hanya 12 persen yang memiliki lahan pertanian.
Dalam dunia kerja yang sangat melelahkan, kontrak-kontrak yang eksploitatif telah menjadikan kondisi ini jauh lebih berat, khususnya bagi tubuh perempuan. Pekerjaan ini melibatkan 12 hingga 16 jam kerja yang melelahkan dengan tim suami-istri, yang dikenal sebagai Jodis, yang dipekerjakan secara informal oleh kontraktor tenaga kerja lokal, Mukkadams.
Para pria biasanya memotong tebu, sementara para wanita akan mengikat dan menumpuknya. Mereka harus membungkuk berjam-jam, mengangkat ikatan tebu yang berat, dan berjalan berkilo-kilometer.
Owhal dan suaminya, Asaram, memiliki empat hektar lahan tadah hujan di pinggiran Kathawada, sebuah desa di distrik Beed. Namun sejak kekeringan parah pada tahun 2016, mereka tidak memiliki air untuk minum atau bertani.
Pasangan itu pindah ke Kolhapur untuk bekerja di perkebunan tebu. Peran Owhal adalah mengikat potongan tebu yang sudah dipotong menjadi beberapa ikatan dan membawanya di atas kepala ke tempat pengumpulan, kemudian mengangkutnya ke traktor.
“Beban yang harus pikul setiap kali mengangkatnya hampir 59 kilogram. Saya melakukan sekitar 100 perjalanan dengan beban tersebut setiap hari ke traktor,” kata Owhal.
Beed telah lama dikenal karena jumlah histerektomi yang sangat tinggi. Survei pemerintah pada 2018 mengungkapkan 36 persen perempuan di distrik ini telah menjalani pengangkatan rahim.
Kini, penelitian dari International Institute for Environment and Development (IIED) telah menemukan hubungan langsung antara dampak iklim dan jumlah perempuan yang menjalani prosedur tersebut.
Sekitar 253 dari 423 rumah tangga di Bedd yang disurvey mengatakan bahwa mereka terpaksa bermigrasi untuk bekerja di industri tebu. Sebagian besar keluarga mengatakan bahwa kekeringan yang berulang dan kegagalan panen menjadi pendorong utamanya.
“Di distrik Beed, banyak keluarga menghadapi pilihan sulit untuk bertahan hidup karena kekeringan yang berulang, kelangkaan air, gagal panen, dan siklus utang yang melumpuhkan,” kata Ritu Bhardwaj, peneliti utama IIED, seperti dilansir The Independent, Ahad (17/3/2024).
Di luar kesulitan ekonomi, ada kerugian pribadi yang signifikan, lanjut Bhardwaj, termasuk hilangnya kesehatan dan kesejahteraan karena kerja paksa dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan dampak mental dan psikologis dari menjalani prosedur seperti histerektomi.
Beberapa perempuan mengatakan kepada IIED bahwa mereka masih dalam usia subur ketika menjalani prosedur ini. Mereka terpaksa melakukan itu karena takut untuk mengambil cuti setelah melahirkan karena biaya khada (Cuti). Pekerja yang melewatkan satu hari kerja, maka akan didenda sekitar 500 hingga 1.000 rupee (sekitar Rp 100-200 ribu).
“Hukuman untuk tidak masuk kerja atau bahkan istirahat ke toilet sering kali 2 hingga 4 kali lipat dari penghasilan mereka dengan bekerja 12-16 jam sehari,” kata Bhardwaj.
Bhardwaj mengatakan bahwa pengalaman para penebang tebu perempuan harus dilihat sebagai dampak dari krisis iklim. Menurut dia, dana kerugian dan kerusakan yang dibentuk pada KTT iklim global COP27 pada tahun 2022 untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat atas kerugian yang tidak dapat diubah akibat dampak iklim – juga harus digunakan untuk memberikan kompensasi kepada para perempuan tersebut.
“Ketika kita berbicara tentang kerugian dan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim, kita tidak hanya berbicara tentang apartemen yang kebanjiran di New York, atau lereng bukit yang hangus di Yunani. Pengalaman para perempuan ini juga merupakan akibat dari perubahan iklim yang telah menghancurkan mata pencaharian mereka, dan beberapa hal yang telah hilang martabat, kesehatan, dan bahkan nyawa mereka sulit untuk diukur,” tegas dia.