Senin 18 Mar 2024 09:13 WIB

Polisi Israel Gunakan Meriam Air untuk Bubarkan Pengunjuk Rasa 

Netanyahu dianggap sebagai penghalang terjadinya perdamaian.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Seorang Muslim mengenakan masker yang menggambarkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai vampir.
Foto: EPA-EFE/IDREES MOHAMMED
Seorang Muslim mengenakan masker yang menggambarkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai vampir.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Polisi Israel menembakkan meriam air ke ribuan pengunjuk rasa yang berkumpul di Tel Aviv. Demonstran mendesak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mundur. "Malam ini sebagian bagian protes yang disetujui pihak berwenang dan diselenggarakan dengan tertib, berdasarkan persyaratan dan tanpa pelanggaran, pengunjuk rasa datang dan menggelar protes dengan sah di area yang sudah ditetapkan untuk protes, sebagian besar meninggalkan lokasi di akhir unjuk rasa," kata kepolisian Israel dalam pernyataan seperti dikutip dari kantor berita United Press International, Ahad (17/3/2024).

"Di saat yang sama sejumlah pengunjuk rasa berkumpul dan memblokir Jalan Tol 20 arah utara, untuk mengganggu pola kehidupan normal, mencoba memblokir lalu lintas arteri dan mencegah pergerakan bebas kendaraan di jalan. Selama unjuk rasa ilegal, para pengganggu ketertiban ditahan dan dipindahkan untuk diinterogasi," tambah polisi.

Baca Juga

Surat kabar The Jerusalem Post melaporkan, polisi Israel menembakan meriam air ke pengunjuk rasa yang memblokir Jalan Tol 20. Pengunjuk rasa menyerukan pemilihan umum untuk mengganti Netanyahu sebagai kepala pemerintahan.

Meriam air, yang pertama kali digunakan untuk mengendalikan kerumunan massa di Jerman pada tahun 1930-an dan sering digunakan untuk memadamkan protes hak-hak sipil di Amerika Serikat (AS), dianggap sebagai bentuk pengendalian kerumunan massa yang tidak terlalu mematikan.

Mereka bekerja dengan menembakkan air dengan kecepatan sekitar 20 liter per detik dan dapat menyebabkan cedera traumatis akibat tekanan dan kecepatan yang tinggi. Tidak segera jelas apakah ada pengunjuk rasa yang terluka oleh polisi.

Sebelum perang di Gaza meletus, Netanyahu yang menghadapi tuduhan korupsi dan penyuapan  mendapat banyak kritik atas upayanya untuk mempengaruhi sistem peradilan di negara itu dengan mengajukan inisiatif legislatif yang akan merusak independensi peradilan.

Sejak saat itu masyarakat Israel mengkritiknya atas  krisis sandera yang diculik Hamas dalam serangan mendadak pada 7 Oktober. Ia juga dikritik atas penanganannya terhadap pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan serangan tanpa henti di Gaza dikecam warga Israel dan Yahudi Amerika yang menginginkan konflik berakhir damai.

Senator Chuck Schumer yang merupakan pendukung Israel dan pejabat terpilih tertinggi keturunan Yahudi di pemerintah AS, juga ikut mendorong pemilihan umum di Israel. Ia mengatakan Netanyahu merupakan rintangan bagi perdamaian.

Pekan lalu, kepala rabi Yahudi Sefardi Yitzhak Yosef  mengatakan umatnya akan meninggalkan Israel jika mereka dipaksa mengikuti wajib militer. Pernyataan ini yang memicu kemarahan para anggota parlemen. "Apakah mereka akan memaksa kami untuk bergabung dengan tentara? Kami akan pergi ke luar negeri," kata Yosef.

Kaum Yahudi Haredi sudah lama menikmati pengecualian dari wajib militer. Tetapi masalah ini memicu perdebatan antara mereka yang menyerukan keadilan dalam wajib militer dan mereka yang mendukung kebebasan beragama. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement