Haedar Nashir Sebagai Begawan Moderasi: Refleksi Sosiologis
Oleh: Dr Muhammad Najib Azca, Dosen Sosiologi UGM dan Wakil Sekjen PBNU
Cerita kecil itu terpaut dengan dua sosok alumni sosiologi UGM yang kemudian menjadi pimpinan tertinggi dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia yaitu Haedar Nashir dan Yahya Cholil Staquf. Mas Haedar—demikian saya biasa memanggil beliau—merupakan alumni program studi S2 dan S3 Sosiologi UGM yang kemudian terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah selama dua periode: 2015-2022 dan 2022-2027.
Sedangkan Gus Staquf—demikian sebutan saya di tulisan ini, merupakan alumni program studi S1 Sosiologi UGM yang terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) periode 2022-2027.
Bagi Departemen Sosiologi UGM, merupakan berkah raksasa telah menjadi kancah dan kawah candradimuka bagi dua sosiolog istimewa yang kemudian menjadi begawan moderasi dan sekaligus menjadi pucuk pemimpin dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia (bahkan di dunia) tersebut.
Kiprah dan peran Muhammadiyah dan NU dalam demokrasi dan perdamaian, termasuk di level internasional, bisa dibaca dalam buku yang merupakan hasil riset Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM berjudul Dua Menyemai Damai: Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam Demokrasi dan Perdamaian (Azca dkk, UGM Press, 2019).
Cerita dimulai dari Gus Staquf. Putera sulung KH. Cholil Bisri ini menjadi mahasiswa di Departemen Sosiologi UGM sejak tahun 1984 setelah menyelesaikan studi di SMAN 1 Yogyakarta, salah satu SMA terbaik di Yogyakarta. Lahir di Rembang pada 1966, sejak kelas 3 SMP Staquf yang masih remaja mulai mondok di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan KH. Ali Ma’shum (Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 1989-1994).
Uniknya Staquf remaja rajin menulis cerpen dan puisi yang kerap dimuat di Majalah Kuntum, media yang diterbitkan oleh Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sejak tahun 1976.
Apa alasan santri lulusan SMA jurusan IPA ini berkuliah di Sosiologi? Ada alasan menarik dan sekaligus refleksi sosiologis yang disampaikannya. Sebagai santri muda yang cerdas dan putera sulung seorang kiai besar yang memimpin Pondok Pesantren di Rembang, Jawa Tengah, ia menyimpan rasa cemas: pesantren dan kaum santri bisa tergulung oleh perubahan besar zaman jika tidak memahami dan mengikuti perkembangan yang berlangsung pesat.
Maka ia memutuskan berkuliah di Sosiologi UGM sebagai ikhtiar untuk memahami dinamika dan perubahan zaman yang terjadi dan selanjutnya berikhtiar menyusun strategi membangun pesantren dan komunitas santri pada umumnya agar tetap relevan dengan perkembangan dan tuntutan zamannya.
Dalam sebuah wawancara menjelang Muktamar NU di Lampung pada bulan Desember 2021, ia mengatakan bahwa pesantren dan dunia santri pada umunya perlu melakukan perubahan agar bisa bertahan menghadapi zaman yang terus berubah.
Nah, agar bisa mengawal pesantren dan kaum santri melakukan perubahan sesuai perubahan zaman Gus Staquf merasa perlu belajar sosiologi.
Meski telah menempuh perjalanan panjang hingga 14 semester dan melampaui hampir semua tahap dalam pendidikan sosiologinya, sayangnya Gus Staquf tidak berminat menyelesaikan tugas akhir/skripsinya.
Namun, jejak sosiologi amat terasa dalam perjalanan aktivismenya, termasuk ketika memimpin organisasi besar seperti NU hingga saat ini (Bisa dibaca misalnya buku berjudul Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama yang terbit pada 2020 dan Pidato Guru Besarnya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada 2023 berjudul Rekonstualisasi Ajaran Islam untuk Tata Dunia Baru).
Berbeda dengan Gus Staquf, Mas Haedar menempuh kuliah S1-nya di kampus Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD)-APMD, sebuah kampus swasta di Yogyakarta. Pria kelahiran Bandung, 28 Februari 1958 ini bergabung dengan Muhammadiyah sejak tahun 1983 dengan nomor anggota 545549 dan selanjutnya dipercaya sebagai Ketua I Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
Kariernya di Muhammadiyah terus meningkat sehingga pada tahun 1985-1990 Haedar menduduki posisi Deputi Kader PP Pemuda Muhammadiyah hingga menjadi Ketua Badan Pendidikan Kader (BPK) dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah.
Puncaknya, pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada 7 Agustus 2015, Haedar Nashir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020.
Haedar dibesarkan di lingkungan Pendidikan keagamaan yang kuat, termasuk bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Ciparay, Bandung. Ia juga pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Selanjutnya ia meneruskan pendidikan di SMP Muhammadiyah III dan SMA Negeri 10, Bandung, sebelum kemudian berkuliah di Yogyakarta (https://www.viva.co.id/siapa/read/169-haedar-nashir).
Setelah merampungkan studi S1 di program studi ilmu Sosiatri di STPMD-APMD, Haedar melanjutkan studi di Sosiologi UGM untuk strata S2 pada 1998 dan strata S3 yang dirampungkan dengan menulis disertasi pada 2007.
Tulisan ini lebih lanjut akan mengkaji bagaimana perjalanan seorang Haedar Nashir sebagai sosiolog mewarnai perjalanan selanjutnya sehingga menjadi begawan moderasi keberagamaan dan moderasi kebangsaan.
Tulisan ini bermaksud menunjukkan bahwa perjalanan aktivisme-intelektual Haedar Nashir tercermin dalam pilihan tematik dan energi intelektual dalam tiga karya yang hendak diulas lebih dalam di tulisan ini: tema kajian saat menulis tesis master, disertasi doktor, dan terakhir saat menulis pidato guru besar Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).