Selasa 19 Mar 2024 22:12 WIB

Menko Hadi: RI Waspadai Konflik Terbuka di Laut China Selatan

Wilayah Laut China Selatan justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara adidaya.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Menko Polhukam Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto.
Foto: Republika.co.id
Menko Polhukam Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto menyebut, pemerintah Republik Indonesia terus mewaspadai munculnya konflik terbuka di Laut China Selatan. Hal itu mengingat adanya sejumlah insiden di perairan sengketa itu dalam beberapa tahun terakhir.

Hadi menilai, potensi konflik selalu ada karena ada tumpang tindih klaim kepemilikan wilayah di Laut China Selatan. Terlebih, sambung dia, China memaksakan klaim sepihak atas seluruh wilayah Laut China Selatan yang mengacu kepada sejarah Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dash Lines).

Baca: Letjen Eko Margiyono Dimutasi Jabat Wagub Lemhannas

"Kita juga mencatat seringnya terjadi insiden di wilayah Laut China Selatan yang apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat memicu konflik terbuka," kata Hadi saat berpidato dalam acara diskusi terkait Laut China Selatan yang digelar Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) di Jakarta, Selasa (19/3/2024).

Oleh karena itu, kata dia, Indonesia yang wilayahnya di Laut Natuna Utara juga menjadi bagian dari Laut China Selatan, juga berkepentingan untuk mengelola sengketa itu. Tujuannya agar situasi di sana tetap damai dan kondusif.

Namun, tujuan itu pun saat ini menghadapi tantangan. Hal itu mengingat China secara sepihak juga mengeluarkan peta negaranya yang menambah Nine Dash Line menjadi Ten Dash Lines. Klaim itu pun tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, tepatnya di Laut Natuna Utara.

Baca: Kemenhan Rusia Sebut 10 Warga Indonesia Ikut Perang Bela Ukraina

Tidak hanya itu, Hadi menilai, sengketa menjadi kian rumit karena rivalitas antara dua negara adidaya, China dan Amerika Serikat pun menguat. China, satu sisi, semakin agresif menempatkan kapal-kapal coastguard-nya di perairan sengketa, sementara AS pun juga membangun pakta pertahanan, yaitu AUKUS (AS, Inggris, Australia) dan QUAD (AS, India, Jepang, dan Australia) untuk membendung pengaruh China.

Terkait situasi itu, Hadi menyebut, Indonesia berkewajiban menjalankan mandat pembukaan UUD 1945, yang di antaranya memelihara perdamaian dunia. Karena itu, ia ingin pemerintah RI semakin aktif berkontribusi menjaga kedamaian.

"Kita tidak ingin melihat wilayah Laut China Selatan justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara major powers (negara adidaya) dan menjadi episentrum konflik. Kita harus mampu mengubah Laut China Selatan menjadi sea of peace," kata eks panglima TNI tersebut.

Baca: Kapuspen Tegaskan TNI tak Terkait WNI Jadi Tentara Bayaran Ukraina

Hadi melanjutkan, Indonesia sejauh ini aktif mendorong negara-negara yang bersengketa untuk segera menyepakati tata perilaku (code of conduct/CoC) di Laut China Selatan. Dia optimistis, jika dokumen itu berhasil disepakati maka menjadi dasar untuk meningkatkan rasa saling percaya (mutual trust) , terutama dalam mengelola sengketa dan konflik di Laut China Selatan.

"Atas inisiatif dan dorongan Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada 2023, ASEAN dan China berhasil menyepakati percepatan perundingan CoC. Kita menargetkan CoC dapat difinalisasi dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu pada 2025," kata Hadi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement