Selasa 19 Mar 2024 22:20 WIB

Ekonom Sebut BI Perlu Tahan BI Rate karena Inflasi Terjaga

Tingkat cadangan devisa saat ini relatif cukup tinggi.

Red: Lida Puspaningtyas
Jajaran Dewan Gubernur BI setelah konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI Januari, Kamis (19/1/2023) di Jakarta.
Foto: Bank Indonesia
Jajaran Dewan Gubernur BI setelah konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI Januari, Kamis (19/1/2023) di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengatakan Bank Indonesia (BI) perlu menahan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 6 persen.

Hal itu dikarenakan rupiah cenderung stabil dalam beberapa pekan terakhir setelah sempat terdepresiasi, dan inflasi domestik masih dalam rentang target BI.

Baca Juga

"Kondisi inflasi dan nilai tukar saat ini dinilai membenarkan bahwa tidak ada keperluan mendesak untuk BI mengubah suku bunga acuannya. Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6 persen pada Rapat Dewan Gubernur Maret ini," kata Riefky di Jakarta, Selasa (19/3/2024).

Bank Indonesia menargetkan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5 plus minus satu persen pada 2024.

Dampak dari kenaikan harga pangan paling terlihat pada komponen harga bergejolak. Pada Februari 2024, inflasi kelompok harga bergejolak tercatat sebesar 8,47 persen secara year on year (yoy), meningkat drastis dari 7,22 persen (yoy) di bulan sebelumnya dan mencapai titik tertingginya sejak Oktober 2022.

Riefky menuturkan inflasi bulanan kelompok harga bergejolak meningkat dari 0,01 persen secara month to month (mtm) di Januari 2024 ke 1,53 persen (mtm) di bulan berikutnya.

Eskalasi kelompok harga bergejolak didorong oleh naiknya harga berbagai komoditas. Pada Februari 2024, berbagai komoditas mengalami kenaikan harga, seperti hargaberas meningkat sebesar 17,53 persen (yoy), harga bawang putih sebesar 33,40 persen (yoy), dan harga cabai merah sebesar 47,37 persen (yoy).

Di sisi lain, tekanan terhadap rupiah cukup signifikan dalam beberapa pekan terakhir akibat peningkatan ketidakpastian finansial global seiring pemilihan waktu penurunan suku bunga oleh berbagai bank sentral global, terutama bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.

Hingga 17 Maret 2024, rupiah telah terdepresiasi sebesar 1,6 persen secara year to date (ytd), dan cenderung memiliki performa lebih buruk dibandingkan beberapa negara peers seperti rupee India, peso Filipina, dan yuan Tiongkok.

Namun, tingkat cadangan devisa saat ini relatif cukup tinggi dan memiliki kapasitas untuk menyerap tekanan dari potensi guncangan di pasar modal dan nilai tukar. Cadangan devisa Indonesia pada Februari 2024 tercatat sebesar 144,04 miliar dolar AS.

Saat ini, tingkat cadangan devisa Indonesia setara dengan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement