REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf R Manilet mengatakan inflasi yang terkendali atau terjaga dapat mendukung stabilitas pasar keuangan Indonesia.
"Saya kira stabilitas pasar keuangan akan sangat ditentukan dari bagaimana kondisi inflasi terutama di sepanjang tahun ini," kata Yusuf kepada ANTARA di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Menurut dia, jika pemerintah bisa menjaga target inflasi berada pada kisaran (range) yang ditentukan sebelumnya maka prospek dari pasar keuangan juga dapat terjaga. Inflasi ditargetkan Bank Indonesia (BI) turun ke kisaran 2,5 plus minus satu persen pada 2024 dari kisaran tiga plus minus satu persen pada 2023.
Menurut Yusuf, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kenaikan laju inflasi terutama di periode awal tahun di mana terjadi kombinasi dari inflasi yang disebabkan oleh faktor volatilitas harga pangan dan juga inflasi yang didorong oleh peningkatan permintaan dari pola musiman di bulan Ramadhan dan lebaran nanti.
Sebelum Ramadhan, inflasi untuk harga bergejolak mengalami peningkatan dari 7,22 persen di Januari meningkat menjadi 8,47 persen di Februari.
Namun, inflasi inti dan juga inflasi untuk komponen harga barang yang diatur oleh pemerintah relatif mengalami penurunan terutama untuk indikator di bulan Februari 2024.
Meski demikian, kondisi pasar keuangan saat ini relatif stabil. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat sebesar 0,60 persen secara year-to-date (ytd) mencapai level 7.316,11 pada 29 Februari 2024, didukung oleh investor asing yang mencatatkan net buy sebesar Rp18,44 triliun ytd.
Sektor infrastruktur dan barang konsumen primer menjadi sektor yang paling menguat, sementara kapitalisasi pasar saham naik tipis 0,11 persen ytd menjadi Rp 11.687 triliun. Rata-rata nilai transaksi harian mencapai Rp 10,66 triliun ytd.
Di pasar obligasi, yield curve pasar uang tetap datar, mengikuti kebijakan BI-Rate yang dipertahankan pada level 6 persen.
Terjadi capital inflow sebesar Rp 18,24 triliun ytd, dengan sebagian besar dialokasikan ke pasar saham (Rp 20,89 triliun ytd), sementara pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik mencatat outflow sebesar Rp2,65 triliun ytd. Meskipun begitu, yield surat utang negara (SUN) 10 tahun cenderung sideways dengan kenaikan 9 basis poin ytd.