Rabu 20 Mar 2024 16:35 WIB

Pendidikan Digital Dinilai Bisa Hasilkan Sampah Elektronik

Perangkat elektronik akan menjadi limbah yang berdampak buruk bagi lingkungan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Sampah elektronik (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Sampah elektronik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi Ekopedagogi, Berto Sitompul menilai pendidikan digital yang melibatkan penggunaan berbagai perangkat elektronik dan teknologi memberikan dampak buruk bagi kondisi lingkungan.

"Baterai-baterai kita (laptop dan ponsel pintar), baterai remote, bahkan baterai AC akan jadi sampah elektronik," ujarnya dalam diskusi publik bertajuk peluang dan tantangan ekopedagogi sekolah alam dan sekolah adiwiyata yang dipantau di Jakarta, Rabu (20/3/2024).

Baca Juga

Berto mengatakan, ketika pandemi COVID-19 melanda pada penghujung tahun 2019, jumlah penduduk bumi mencapai 13 miliar jiwa. Sedangkan, ponsel yang teregistrasi di pabrik mencapai 7 miliar unit. Bahkan, selama pandemi yang berlangsung dua tahun ada potensi 5 miliar unit ponsel menjadi sampah. 

"Kalau 5 miliar unit ponsel ditumpuk dan menjadi sampah itu setara dengan keliling bumi. Tetapi, limbah elektronik belum menjadi perhatian di Indonesia," kata Berto.

Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa satu baterai bisa mencemari lahan seluas satu hektare dengan kedalaman mencapai tujuh centimeter.

Berto menyayangkan informasi itu tidak pernah disampaikan kepada para murid di sekolah bahwa suatu hari nanti semua perangkat yang dibeli menjadi sampah. Sejak dini murid seharusnya diajarkan cara bertanggungjawab terhadap lingkungan.

"Kita selalu bicara sampah plastik. Sampah plastik cuma 14 sampai 18 persen, sedangkan 60 persen sampah organik, dan 3 persen sampah elektronik yang jumlahnya semakin meningkat," ucapnya. 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merilis data jumlah sampah elektronik di seluruh dunia yang mencapai 57,4 metrik ton pada tahun 2019. Apabila sampah elektronik itu ditangani secara business as usual, maka jumlahnya dapat meningkat sebanyak 74,7 metrik ton secara global pada tahun 2030. 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memaparkan sampah elektronik mengandung berbagai komponen bahan berbahaya dan beracun, seperti timbal, merkuri, cadminium, dan lain-lain.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Sampah Spesifik mengamanatkan sampah elektronik masuk dalam kategori sampah spesifik yang memerlukan pengelolaan khusus dikarenakan sifat, konsentrasi maupun volumenya.

Oleh karena itu pengelolaan sampah spesifik harus dilakukan secara sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi kegiatan pengurangan dan penanganan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement