Rabu 20 Mar 2024 20:49 WIB

Indef: Kenaikan Tarif PPN Berpotensi Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Pada 2023, tingkat konsumsi rumah tangga telah mengalami perlambatan.

Petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melayani wajib pajak (ilustrasi).
Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melayani wajib pajak (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Macroeconomics and Finance Indef Abdul Manap Pulungan menilai rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Memang ketika diambil kenaikan tarif itu (PPN 12 persen) nanti dampaknya akan terasa terhadap perekonomian, jadi jangan sampai kenaikan PPN ini akan menekan pertumbuhan ekonomi," kata Abdul dalam Diskusi Publik Indef 'PPN Naik, Beban Rakyat Naik' yang digelar virtual di Jakarta, Rabu (20/3/2024).

Baca Juga

Abdul memberikan catatan bahwa pada 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mengalami perlambatan menjadi 5,03 persen dibandingkan 2022 yang tercatat 5,31 persen.

Menurut Abdul, naiknya PPN akan berimbas pada kecenderungan masyarakat untuk lebih berhemat mengingat harga barang dan jasa yang turut naik. Hal itu dikhawatirkan semakin menekan indikator konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) utama.

Pada 2023, tingkat konsumsi rumah tangga telah mengalami perlambatan menjadi 4,82 persen dibandingkan 2022 yang tercatat 4,9 persen. Komponen non-makanan diprediksi menjadi komponen konsumsi yang paling terdampak adanya kenaikan PPN 12 persen nanti, yaitu kelompok transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel.

"Ini khawatirnya ketika PPN itu naik, orang-orang cenderung menahan plesiran, yang pada akhirnya menyebabkan sektor-sektor konsumsi yang bukan kebutuhan pokok itu menurun," ujar Abdul.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa kenaikan PPN juga mempunyai potensi berdampak terhadap inflasi. Kendati pun ada berbagai komoditas yang tak dikenakan PPN seperti beras, jagung, sagu dan komoditas lainnya, menurut Abdul, tidak ada jaminan bahwa harga komoditas tersebut akan terkendali di pasaran.

"Penjual itu akan reaktif ketika terjadi kenaikan PPN. Mereka tidak peduli, apakah komoditas yang dinyatakan tidak naik itu justru mereka naik, apalagi di pasar tradisional yang tidak terpantau," katanya.

Kekhawatiran tersebut ditambah dengan kondisi perekonomian global tahun ini yang masih dibayangi ketidakpastian.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya telah memastikan PPN bakal naik menjadi 12 persen pada 2025. Dia mengatakan, aturan untuk kenaikan PPN akan dibahas lebih lanjut dan dilaksanakan oleh pemerintahan selanjutnya.

Sebagai informasi, kenaikan PPN 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

Dalam pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen. Namun, kata Airlangga, penyesuaian peraturan itu tergantung dari kebijakan pemerintah selanjutnya.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement