Oleh : Muhammad Muchlas Rowi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap pebisnis ingin usahanya tak cuma sukses tapi juga berkelanjutan [sustainability]. Tak sekedar sukses sepintas, lalu tenggelam kemudian. Beragam cara lalu dilakukan untuk memoles citra dan menambah usia bisnisnya.
Sayangnya, cara orang memoles bisnis seringkali hanya fokus pada metrik finansial, seperti revenue, neraca, atau profit. Sehingga melahirkan bias saat mengukur keberhasilan bisnisnya.
Banyak bisnis memang bisa merasakan kesuksesan meski cuma fokus pada metrik finansial. Namun tak bisa bertahan lama, alih-alih kembali ke titik nol. Seperti dialami banyak perusahaan rintisan atau startup di negeri ini.
Selain terlalu sering mengandalkan strategi ‘bakar duit’, juga karena terburu-buru ingin mencapai titik impas. Lalu meraup untung sebesar-besarnya.
Celakanya, kebiasaan ini mengakar kuat hingga ke level bisnis paling bawah. Seperti aksi sejumlah warung di kawasan wisata, mematok harga di luar nalar. Mereka pikir, efek negatifnya bisa dilokalisir dan hanya muncul ketika itu saja. Tapi rupanya malah meluas dan bahkan viral.
Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Kesuksesan perusahaan yang dibangun cape-cape akhirnya tidak saja rusak, tapi juga rontok alias bangkrut.
Keberhasilan bisnis
Sebuah reportase BBC tahun 2020 menampilkan fakta menarik soal usia bisnis di Negeri Matahari Terbit, Jepang. Dimana berdasarkan penelitian Firma Teikoku Data Bank tahun 2019 diketahui ada sekira 33 ribu bisnis berusia lebih dari seabad.
Entitas yang berusia tua itu dikenal dengan istilah ‘shinise’, yang secara harfiah berarti ‘toko lawas’. Fakta menarik lainnya, banyak ‘shinise’ menekankan kesinambungan ketimbang target memaksimalkan profit.
Tsuen Tea, sebuah kedai teh di Kyoto, adalah salah satu ‘shinise’ yang disebut paling tua usianya [lahir tahun 1160]. Letaknya ada di pojok jalan, mengarah ke sungai besar dan jembatan di pemukiman sepi di kota Kyoto.
Sang pemilik, bernama Yusuke Tsuen mengatakan, “kami fokus pada teh dan tidak pernah memperluas bidang usaha terlalu jauh. Itulah mengapa kami bertahan.”
‘Shinise’ lain yang tidak terlalu tua namun cukup lama berdiri di Kyoto adalah Nitendo. Sebuah perusahaan yang fokus pada produksi video game. Nama mereka terdengar di seluruh dunia, dan sukses merevolusi hiburan di rumah melalui peralatan game elektronik sejak tahun 1985.
Meski begitu populer, namun kebanyakan orang tak tahu jika Nitendo dimulai sejak tahun 1889. Bermula dari permainan kartu khas Jepang, bernama Hanafuda.
Kabar baiknya, toko lawas sejenis ‘shinise’ ternyata juga ada di Indonesia. Namanya Bakoel Koffie, salah satu kedai kopi tertua di Jakarta. Berdiri sejak 1878, Bakoel Koffie ternyata bermula di Hayam Wuruk, lalu berkembang menjadi 5 cabang di Cikini, Senopati, Bintaro, kelapa Gading, dan Kuningan.
Awalnya, kedai ini bernama ‘Warung Tinggi’. Sebuah warung nasi yang banyak dikunjungi pengayuh becak. Namun, karena pengunjung warung ini lebih menyukai kopinya, maka Liauw Tek Soen, sang pemilik waktu itu lebih mengembangkan bisnis kopinya hingga sekarang.
Bisnis berkelanjutan
Kesuksesan bisnis yang dipertahankan puluhan bahkan ratusan tahun baik oleh Tsuen Tea, Nitendo, dan Bakoel Koffie sesungguhnya punya faktor determinan yang serupa, yaitu kesetiaan pada pola dan tradisi. Bukan cuma memaksimalkan keuntungan.
Tanpa disadari, mereka pun berhasil menciptakan keseimbangan antara metrik finansial [revenue, masrket share, profit] dengan metrik non finansial [jumlah dan kepuasan pelanggan, kepuasan karyawan, reputasi].
Catatan kritisnya, pola tersebut sejatinya terbentuk secara alamiah. Dimana keseimbangan lahir dari preferensi si pemilik awal yang diturunkan kepada anak cucunya. Artinya, jika tidak dibuat secara lebih terstruktur, maka tren bisnis yang datang kemudian lambat laun bisa juga membunuhnya.
Karena itu, menjadi penting bagi sebuah perusahaan untuk mendorong owner bisnis, direksi hingga dewan komisaris untuk menerapkan cara-cara yang lebih terstruktur untuk menyelaraskan perkembangan mutakhir dengan maksud dan tujuan.
Atau kita kenal saat ini dengan Tata Kelola, Risiko, dan Kepatuhan [GRC]. Di era digital, cara yang lebih terstruktur ini diupayakan untuk menyelaraskan IT dengan tujuan bisnis sembari mengelola risiko serta memenuhi semua peraturan industri dan pemerintah.
Sederhananya, sebuah perusahaan atau bisnis menggunakan GRC untuk mencapai tujuan organisasi yang andal, menghilangkan ketidakpastian, dan memenuhi peryaratan kepatuhan.
Dalam konteks tata kelola perusahaan [governance], GRC berperan mememastikan perusahaan dijalanankan dengan baik dan transparan, meningkatkan kepercayaan investor dan stakeholders.
Sementara dalam konteks manajemen risiko, GRC berperan membantu perusahaan mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola risiko, sehingga meminimalisasi potensi kerugian.
Last, kaitannya soal kepatuhan [compliance], GRC amat dibutuhkan untuk membantu perusahaan mematuhi regulasi dan menghindari sanksi, serta meningkatkan reputasi dan kredibilitas.
Meski penerapan GRC meniscayakan adanya investasi awal, namun manfaatnya jauh lebih besar di masa depan. GRC akan membantu perusahaan membangun kepercayaan, meningkatkan kinerja, dan yang terpenting mencapai keberlanjutan.
Banyak perusahaan yang telah merasakan manfaat GRC. Contohnya Unilever yang menerapkan GRC untuk memastikan rantai pasokan yang berkelanjutan dan etis. Atau ada juga Siemens yang menggunakan GRC untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam proses penerapan.
Perusahaan-perusahaan BUMN seperti PLN, dan sejumlah bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara [Himbara], hingga PT Jamkrindo juga telah menerapkan GRC dengan baik.
Pada akhirnya, GRC bukan hanya tentang tata kelola, risiko dan kepatuhan, tapi juga tentang membangun budaya perusahaan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Di tengah dunia yang penuh dengan ketidakpastian, GRC adalah kunci untuk mencapai kesuksesan bisnis secara berkelanjutan.
*Komisaris Independent PT Jaminan Kredit Indonesia