Kamis 21 Mar 2024 16:18 WIB

Ungkit Perkara Firli-Lili Pintauli, Sekretaris MA Nonaktif Sindir Standar Ganda KPK

Hasbi Hasan dituntut hukuman penjara selama 13 tahun dan 8 bulan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Terdakwa Sekretaris Mahkamah Agung (MA) nonaktif Hasbi Hasan menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024). Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa Hasbi Hasan dipidana selam 13 tahun dan 8 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp3,88 miliar subsider 3 tahun kurungan. Dalam perkara tersebut, Hasbi Hasan dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan hukum telah menerima suap penanganan perkara kasasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana yang bergulir di MA.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Sekretaris Mahkamah Agung (MA) nonaktif Hasbi Hasan menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024). Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa Hasbi Hasan dipidana selam 13 tahun dan 8 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp3,88 miliar subsider 3 tahun kurungan. Dalam perkara tersebut, Hasbi Hasan dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan hukum telah menerima suap penanganan perkara kasasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana yang bergulir di MA.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Mahkamah Agung (MA) nonaktif Hasbi Hasan memersoalkan upaya KPK dalam membongkar perkara dugaan gratifikasi. Hasbi mengendus adanya standar ganda KPK. 

Hal itu dikatakan Hasbi dalam sidang dengan agenda pembacaan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Kamis (21/3/2024). Hasbi terjerat perkara gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam pengurusan perkara di MA.

Baca Juga

"Saya prihatin dengan standar ganda dalam dugaan penanganan gratifikasi oleh KPK," kata Hasbi saat membacakan pleidoi pribadinya dalam sidang tersebut.

Hasbi menuding KPK tak gercep menangani dugaan penerimaan gratifikasi eks ketua KPK Firli Bahuri. Padahal, menurut Hasbi, selisih penerimaan dugaan gratifikasi berupa biaya sewa helikopter yang diterima Firli mencapai lebih dari Rp 140 juta dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW).

"KPK tidak responsif melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan menerima diskon atas biaya sewa helikopter oleh mantan Ketua KPK Firli Bahuri yang menurut ICW selisihnya melampaui Rp 140 juta menurut sumber berita online Tempo," ujar Hasbi.

Hasbi juga mengungkit investigasi kasus dugaan gratifikasi eks pimpinan KPK, Lili Pintauli Siregar. Hasbi merujuk salah satu pemberitaan yang menyebut KPK tak pernah mengusut dugaan gratifikasi berupa fasilitas tiket akomodasi dan menonton MotoGp Mandalika yang diduga diterima Lili.

"KPK juga tak pernah usut dugaan gratifikasi Lili Pintauli, salah satu Komisioner KPK yang menerima gratifikasi berupa akomodasi tiket, menonton MotoGp Mandalika dari PT Pertamina Persero, sumber berita CNN Indonesia," ujar Hasbi.

Diketahui, Hasbi Hasan dituntut hukuman penjara selama 13 tahun dan 8 bulan. Hasbi Hasan diyakini Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) bersalah dalam kasus suap penanganan perkara di MA. Hal itu disampaikan JPU KPK Ariawan Agustiartono dalam sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Kamis (14/3/2024).

JPU KPK juga menuntut agar hakim menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 3.880.000.000 kepada Hasbi Hasan. 

Eks Komisaris Independen Wijaya Karya, Dadan Tri Yudianto sudah divonis penjara lima tahun, denda 1 miliar dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 7.950.000.000 dalam kasus ini. Vonis terhadap Dadan ini jauh dari tuntutan yang diajukan Jaksa KPK berupa hukuman penjara selama 11 tahun 5 bulan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement