Oleh : M Nurdin Zuhdi (Universitas Aisyiyah Yogyakarta)
REPUBLIKA.CO.ID, Puasa merupakan salah satu elemen ibadah penting dalam agama-agama di dunia. Setiap agama memiliki cara puasa yang berbeda-beda. Dalam agama Hindu ada puasa hari Nyepi, yaitu tidak makan dan minum mulai fajar hari itu sampai fajar keesokan harinya. Dalam agama Budha dikenal puasa Uposatha, yaitu tidak makan setelah jam 12 siang hingga pagi hari selama empat kali dalam sebulan, namun masih diperbolehkan untuk minum. Dalam agama Katholik dikenal puasa Pra-Paskah yang dilakukan selama 40 hari.
Agama Yahudi memberlakukan puasa hari Yom Kippur, yaitu dilarang makan, minum, hubungan biologis, dan memakai sepatu kulit. Begitupun dalam agama Konghucu juga ada perintah puasa di bulan Imlek yaitu berpantang makan daging. Sedangkan dalam agama Islam ada puasa Ramadhan, yaitu menahan makan, minum dan hubungan biologis mulai terbit fajar hingga matahari terbenam selama sebulan penuh.
Makna Puasa
Walaupun puasa di setiap agama dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, namun puasa, dari agama apapun, pada hakikatnya memiliki makna dan tujuan yang sama. Mari kita lihat dari segi pemaknaannya. Kata 'puasa' dalam Bahasa Arab disebut 'Ash-Shiyam' atau 'Ash-Shaum' yang secara bahasa berarti 'al-Imsak' yang bermakna 'menahan diri dari sesuatu'. Dengan demikian, secara istilah puasa bermakna menahan diri dari segala sesuatu dapat membatalkan puasa yang dilakukan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sehingga orang yang sedang sahur kemudian mendengar seruan 'imsak'. Itu artinya kita disuruh untuk menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan hubungan biologis.
Namun makna menahan diri ini bukan berarti sempit di mana hanya sekedar menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa secara fikih saja, namun hakikat menahan diri yang dimaksud bermakna luas yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang dapat menggugurkan pahalanya puasa. Jika puasa hanya sekedar menahan diri dalam arti sempit, maka puasa kita terancam hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga saja bagi pelakunya. Karena hanya puasa yang bermakna menahan diri dalam arti luas yang dapat berdampak secara sosial berskala besar. Itulah makna falsafah puasa yang sesungguhnya.
Tingkatan Puasa
Dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali membagi tiga tingkatan orang berpuasa di bulan Ramadhan. Pertama, puasa umum (shaum al-‘umum) yaitu menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Kedua, puasa khusus (shaum al-khushush) yaitu menahan telinga, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Ketiga, puasa khusus untuk orang-orang khusus (shaum khushush al-khushush) yaitu menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT.
Tipe puasa yang pertama (shaum al-‘umum) tidak akan memberikan dampak sosial bersekala besar. Tipe puasa yang pertama dampaknya sempit, hanya untuk pelaku puasa (individual), minimal pelakunya mendapatkan sehat secara fisik. Karena menahan makan dan minum dalam arti puasa dapat menyehatkan badan. Maka Nabi Muhammad SAW menyebutkan tipe puasa yang pertama ini hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda: "Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)" [HR. Ibnu Majah). Puasa tipe ini tidak akan memberikan dampak transformatif.
Puasa Transformatif
Lalu tipe puasa seperti apa yang memberikan dampak transformatif? Jawabannya adalah minimal tipe yang kedua (shaum al-khushush), yaitu puasa yang tidak hanya menahan dari lapar dan dahaga semata, manun menahan telinga, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Tipe puasa inilah yang akan memberikan perubahan berskala besar, baik untuk dirinya pribadi maupun untuk orang lain. Berkenaan dengan puasa yang berdampak secara sosial berskala besar ini Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menjelaskan: "Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang merusak puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat."
Banyak hadis yang menguatkan tentang puasa yang berdampak secara sosial berskala besar ini. Di antaranya adalah "Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya." [HR. Al-Bukhari]. Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’." [HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].
Jika puasa tipe yang kedua ini benar-benar dilakukan, maka kita akan melihat perubahan sosial bersekala besar. Mengapa demikian? Karena dengan menahan telinga, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa, maka tingkat kejahatan dan kerusakan di muka bumi ini akan hilang, atau minimal berkurang. Allah berfirman: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Ruum [30]: 41)
Sebab itu, sikap menahan diri ini sangat penting. Coba kita perhatikan, betapa banyak kerusakan yang terjadi di muka bumi ini akibat manusia tidak bisa menahan diri. Terjadinya banjir, akibat manusia tidak bisa menahan diri untuk tidak menggunduli hutan dan membuang sampah sembarangan. Terjadinya kecelakaan di lampu merah akibat pengguna jalan tidak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak menunggu lampu hijau. Terjadinya korupsi, pembunuhan, miras, narkoba dan obat-obatan terlarang, fitnah, menebar hoaks, perzinahan, perselingkuhan, KDRT dan lain-lainnya adalah akibat manusia tidak bisa menahan diri.
Sikap menahan diri yang terdapat dalam nilai-nilai ibadah puasa Ramadhan ini harus dapat kita aktulisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap menahan diri ini bisa kita mulai dari diri kita dan keluarga kita terlebih dahulu. Inilah yang disebut bahwa puasa Ramadhan mengajarkan semangat pembatasan sikap bersekala besar, puasa transformatif. Ramadhan mengajarkan kepada kita untuk bisa belajar menahan diri dari segala hal yang dapat merugikan diri dan orang lain.