Dalam ibadah puasa yang notabene hanya dapat diketahu oleh Allah, keikhlasan (kemurnian amal ibadah hanya untuk menggapai ridha Allah SWT) lebih mudah dibangun, sebagaimana termaktub di dalam ar-Risâlah a-Qusyairiyyah karya al-Imam al-Qusyairiy:
الإخلاص التوقي عَن ملاحظة الخلق. فالمخلص لا رياء له
“Ikhlas adalah menghindar dari perhatian/penilaian orang lain. Seorang yang ikhlas tidak ada riya dalam dirinya.”
Dalam ibadah puasa, ada relasi khusus yang terbangun antara seorang hamba dengan Rabb-nya, tanpa melibatkan pihak lain manapun. Sebagaimana redaksi hadits di awal tulisan ini, puasa yang kita jalani hanya Allah SWT yang tahu, maka kemudian Allah jugalah yang langsung menangani ganjaran atas puasa kita tersebut. Ada intimasi hubungan yang terjalin antara pelaku puasa dengan Tuhannya.
Tentu kita pernah mendengar Hadits Jibril, yaitu ketika terjadi dialog antara Rasulillah SAW dan Malaikat Jibril AS tentang fundamen trilogi keislaman kita: Islam, Iman dan Ihsan. Fokus pada Ihsan, berikut dialognya:
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسَانِ. قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه مسلم)
“Ia (Jibril AS) berkata: Beritahu aku tentang Ihsan. Ia (Rasulullah Saw.) berkata: (Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan engkau melihat-Nya. Jikapun engkau tidak melihat--Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim).
Ihsan mendidik kita tentang murâqabah, yaitu kesadaran diri tentang kehadiran dan pengawasan Allah Dzat Yang al-Raqîb (Maha Mengawasi). Ketika seorang hamba selalu mawas diri bahwa ia senantiasa berada dalam radar pengawasan Tuhannya, baik di keramaian maupun di kesunyian, tentu ia akan selaraskan seluruh aktivitasnya dengan frekuensi ketaatan kepada Allah SWT.
Dengan kesadaran yang mendalam tentang murâqabah, potensi kemaksiatan dan kezaliman akan semakin jauh untuk dilakukan. Sebagimana termaktub di dalam ar-Risâlah a-Qusyairiyyah:
من راقب اللَّه تَعَالَى فِي خطرات قلبه عصمه اللَّه فِي حركات جوارحه
“Siapa yang senantiasa sadar bahwa ia diawasi oleh Allah pada lintasan-lintasan hatinya, maka Allah akan menjaganya pada gerak-gerik anggota tubuhnya.”
Seperti termuat di dalam Ihyâ ‘Ulûmiddîn, yang dikisahkan oleh Abdullah ibn Dinar RA, ketika ia pergi bersama Umar ibn Khattab ra. menuju ke Mekkah. Saat keduanya istirahat di tengah perjalanan, seorang penggembala domba turun dari bukit.
Umar lalu berkata, “Wahai penggembala, juallah kepadaku salah satu domba itu.” Si penggembala berkata, “Aku hanya seorang budak (bukan pemilik domba).” Kembali Umar berkata, “Katakan saja nanti kepada tuanmu bahwa domba itu dimakan serigala.”