Sabtu 23 Mar 2024 15:25 WIB

KPK Vs Kejagung; Melongok Kasus LPEI Jilid 1 yang Sudah Dituntaskan Kejagung

Saat itu Kejagung sebut kerugian negara mencapai Rp.2,6 triliun.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Joko Sadewo
Jaksa Agung ST Burhanuddin bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, menggelar jumpa pers usai melakukan pertemuan. Dalam pertemuan dibahas dugaan korupsi//fraud dalam pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Foto: istimewa/doc humas
Jaksa Agung ST Burhanuddin bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, menggelar jumpa pers usai melakukan pertemuan. Dalam pertemuan dibahas dugaan korupsi//fraud dalam pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pelaporan kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang dilakukan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani ke Kejaksaan Agung (Kejagung), memunculkan perdebatan publik atas siapa yang pantas menanganginya.  

Hal ini karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengaku kasus ini sudah mereka tangani sejak Mei 2023. Sedangkan Kejagung, selain mendapat pelaporan langsung dari Sri Mulyani, kasus LPEI sudah mereka tangani sejak 2021. Bahkan kasus tahap pertama ini sudah inkrach pada 2022.

Baca Juga

“Dalam kasus yang dilaporkan (oleh Sri Mulyani) itu, nggak jauh berbeda (dari yang pernah ditangani 2021-2022),” kata Direktur Penyidikan Jampidsus, Kuntadi. 

Seperti apa kasus LPEI yang sudah dituntaskan Kejagung ini?. Pada September 2021 Jampidsus pernah mengumumkan penyidikan korupsi di LPEI. Kasus tersebut diusut oleh Direktur Penyidikan Jampidsus Supardi, mantan direktur penuntutan di KPK. 

Dari penyidikan itu, pada Januari 2022, Jampidsus menetapkan delapan orang tersangka swasta, serta penyelenggara negara dari LPEI. Supardi ketika itu mengumumkan kerugian negara terkait kasus tersebut mencapai Rp 2,6 triliun. 

Kerugian tersebut terkait kredit macet atas pembiayaan ekspor dari LPEI senilai Rp 4,6 triliun yang digelontorkan kepada delapan grup usaha swasta induk, yang terdiri dari 27 unit-unit perusahaan anak sepanjang 2019.

Kepada Grup Walet, nilai pembiyaan ekspor dari LPEI setotal Rp 576 miliar. Pembiyaan tersebut semula diberikan kepada CV Mulia Walet Indonesia senilai Rp 90 miliar. Lalu dana pembiyaan tersebut diambil alih perpanjangannya oleh PT Mulia Walet Indonesia dengan pembekakan pembiyaan mencapai Rp 175 miliar. 

Dari Grup Walet juga, PT Jasa Mulia Indonesia memperoleh pembiyaan Rp 276 miliar. Sedangkan pembiyaan kepada PT Borneo Walet Indonesia senilai Rp 125 miliar.

Kepada Grup Johan Darsono, fasilitas pembiyaan ekspor nasional diberikan senilai total Rp 2,1 triliun. Pembiyaan tersebut diberikan kepada 12 perusahaan. Yaitu PT Kemilau Kemas Timur senilai Rp 200 miliar, CV Abaya Giri Timur (Rp 15 miliar,) CV Multi Mandala (Rp 15 miliar), CV Prima Garuda (Rp 15 miliar), CV Inti Makmur (Rp 15 miliar). 

Kemudian, PT Permata Sinita Kemasindo (Rp 200 miliar), PT Summit Papper Indonesia (Rp 199,6 miliar), PT Elite Paper Indonesia (Rp 200 miliar), PT Everbliss Packaging Indonesia (Rp 200 miliar), PT Mount Dream Indonesia (Rp 645 miliar). Selanjutnya, PT Gunung Geliat 30 juta dolar AS atau setara (Rp 345 miliar), dan PT Kertas Basuki Rahmat 45 juta dolar AS atau (Rp 460 miliar).

Ketika itu, Supardi menyebut, dari semua pembiayaan tersebut, sejak awal prosesnya sudah mengalami cacat prosedur. “Pemberian pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI kepada para debitur tersebut dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan tidak sesuai dengan aturan hukum maupun kebijakan di LPEI, sehingga berdampak pada kerugian negara,” kata Supardi, saat itu.

Pemberian pembiyaan ekspor tersebut pun berdampak pada peningkatan nilai kredit macet pengembalian dari para debitur ke kas LPEI. Pada laporan pembukuan LPEI 2019, angka kredit macet senilai 4,7 triliun tahun berjalan. “Pembiyaan kepada para debitur tersebut, berstatus kolektibilitas lima, atau macet per Desember 2019,” kata Supardi.

Dari penyidikan kasus tersebut, delapan tersangka dinyatakan terbukti bersalah di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta. Dan dalam 2022, kasus tersebut inkracht dengan memenjarakan delapan terdakwa. 

Mereka yang dipenjarakan di antaranya, Johan Darsono (JD) selaku Direktur PT Mount Dream Indonesia yang dipidana 5 tahun penjara, serta mengganti kerugian negara sebesar Rp 1,9 triliun, dan 54,06 juta dolar AS.  

Suyono (S) selaku Direktur PT Jasa Mulia Indonesia, dan PT Mulia Walet, serta PT Borneo Walet Indonesia di pidana 6 tahun penjara, dan denda Rp 750 juta, serta mengganti kerugian negara Rp 576 miliar.

Terdakwa Djoko S Djamhoer (DSD) selaku mantan Kepala Divisi Analisa Risiko Bisnis II LPEI yang dipidana 4 tahun penjara, dan denda Rp 300 juta. 

Lainnya terdakwa Josef Agus Susatya (JAS) selaku Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta yang dipidana 4 tahun penjara, dan denda Rp 300 juta. Terdakwa Indra W Supriadi (IWS) dipidana 4 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.

Terdakwa Ferddy Sjaifoellah (FS) dipidana 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta; terdakwa Purnomosidhi Noor Muhammad (PNM) dipidana 4 tahun penjara dan denda Rp 300 juta; dan terdakwa Arif Setiawan (AS) dipidana 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement