SumatraLink.id -- “Rezeki itu sudah diturunkan di dunia ini, tinggal lagi kita mau atau tidak menjemputnya.”
Ungkapan itu keluar dari mulut seorang pimpinan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandar Lampung kepada dua orang juniornya di sebuah warung makan lingkungan kantor Disdukcapil Kota Bandar Lampung, beberapa tahun lalu.
Dalam obrolan warung kopi pagi itu, menjelang waktu pensiunnya bapak paruh baya tadi terus memotivasi juniornya yang masih berstatus tenaga honorer sebagai Satpol PP, yang mulai mengeluhkan pendapatan pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.
Keluhan para juniornya tersebut, telah ia alami selama 26 tahun sebagai tenaga honorer di berbagai instansi pemerintah di Lampung. Saat ini, anaknya sudah banyak yang selesai kuliah dan bekerja.
Tepatlah kiranya, ia memberikan wejangan semangat dan nasehat kepada juniornya untuk tidak patah arang mengarungi kehidupan meskipun hasilnya tidak seberapa. Namun, tetap yakin bahwa rezeki itu ada-ada saja, dan dari jalan yang tidak diduga-duga.
Allah Subhanahuwata’ala (SWT) berfirman, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka Dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizekinya, maka Dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku’.” (QS. Al- Fajr: 15-16).
Ath-Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini.”
Baca juga: Berjumpa di Bawah Payung Madinah
Kemudian ia menambahkan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rezeki, yaitu rezekinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga, ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rezeki berupa nikmat sehat pada jasadnya.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyatakan, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rezeki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rezeki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian.
Baca juga: Kerak Neraka Sedalam Batu yang Jatuh Selama 70 Tahun
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al-Mu’minun: 55-56).
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rezeki, ia merasa bahwa Allah menghinakannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali.
Allah memberi rezeki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rezeki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.
Allah SWT memberikan rezeki kepada semua manusia baik muslim maupun kafir. Terkadang rezeki yang diberikan ada yang berupa ujian atau nikmat. Tapi dua-duanya berupa ujian. Artinya, saat seseorang diberikan kelapangan dan kesempitan rezeki, hal tersebut dapat dilihat dari ketaatannya kepada Allah SWT.
Baca juga: Mau Menggenggam Dunia, Jangan Lalaikan Dua Rakaat Sebelum Subuh
Bila ia beriman kepada Allah, maka ketika diberikan nikmat kelapangan rezeki (berkecukupan) ia bersyukur, dan bila diberikan kesempitan rezeki (kekurangan) ia bersabar, tidak mengeluh.
Tepatlah kiranya Alquran Surah Al-Fajr 15-16 disematkan kepada orang kafir atau tidak beriman. Kalau orang beriman bila rezekinya lapang ia bersyukur dan bila rezekinya sempit ia bersabar. Bahwa kedua kondisi tersebut sama-sama mendapatkan ujian dari Allah bila rezeki yang diberikan-Nya kita tidak dapat mengolahnya di jalan agama.
Al-Qurthubi mengatakan, sesungguhnya kemuliaan yang dianggap orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang mukmin, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan pada Allah dan bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberi rezeki baginya di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur pada-Nya.
Baca juga: Ingin Selamat Dunia-Akhirat, Jangan Sepelekan Nasihat Luqman
Jadi, tepatlah bila kita tidak perlu pusing atau risau bila rezeki kita pas-pasan atau berlebih (cukup). Semuanya menjadi ujian bagi kita, terkait dengan ketaatan kita kepada Allah yang memberikan rezeki. Apakah kita termasuk orang yang bersyukur dan bersabar, atau kita masuk orang yang kufur, dan mengeluh.
Kalaulah hal tersebut tertanam di benak kita, maka tidak ada sifat iri dan dengki dengan rezeki atau harta orang lain. Bukankah semua itu, dilapangkan atau disempitkan rezeki menjadi ujian bagi yang mengalaminya. Harta tersebut, diperoleh dengan cara ada, dan digunakan atau dibelanjakan kemana. Dua hal tersebut yang akan ditanya setelah kita meninggal dunia, sebagai pertanggungjawaban kita dihadapan Allah SWT.
Semoga kita semua selalu dikaruniahi Allah SWT sebagai hamba yang pandai bersyukur lagi mampu bersabar. Sehingga waktu senang dan susah dalam hidup ini tak ada berbeda sama sekali. (Dinukil dari Buku Sepotong Paha dari Aisyah (2019), penulis Mursalin Yasland)