REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah 15 tahun mengalami kekeringan yang dahsyat, waduk-waduk di Chili mengalami kekeringan, sehingga mengancam akses air minum di negara tersebut.
Waduk Cogoti di wilayah Coquimbo, Chili utara, sebuah waduk berkapasitas 150 juta kubik telah benar-benar habis seiring dengan berakhirnya musim panas di belahan bumi selatan.
"Situasi air sangat kritis, saya berharap Tuhan mengingat masyarakat miskin di pedesaan dan para petani," kata Heriberto Perez, seorang penduduk setempat yang memelihara ternak di wilayah tersebut dan khawatir tentang menipisnya air yang tersedia untuk hewan ternaknya.
"Kita semua adalah manusia dan kita harus mendapatkan sedikit air, bukan?” tambah dia seperti dilansir Reuters, Senin (25/3/2024).
Kekeringan bersejarah ini telah berdampak pada hampir semua aspek kehidupan di negara yang kaya akan tembaga ini, memengaruhi segala hal mulai dari hasil tambang hingga area hijau di ibu kota.
World Resources Institute menempatkan Chili sebagai salah satu negara yang paling kekurangan air di dunia, dengan risiko kehabisan pasokan air pada tahun 2040.
Meskipun curah hujan membantu mengisi kembali beberapa waduk di Chili bagian tengah dan selatan pada musim dingin yang lalu, bagian utara tetap kering dan menguras waduk-waduk di seluruh wilayah tersebut.
"Sudah bertahun-tahun hujan tidak turun di wilayah kami, sudah sangat sedikit hujan," ujar Rene Carvajal, presiden komite air minum pedesaan di Coquimbo.
Carvajal mengatakan bahwa dalam satu tahun hanya turun hujan 15 milimeter dan tidak ada salju di pegunungan Andes di wilayah tersebut tahun lalu.
"Kami bisa saja bermigrasi, namun di kota-kota lain juga mengalami hal yang sama, kekurangan air. Akan ada pembatasan air juga di kota, air langka terjadi di sini dan berbagai wilayah,” kata Carvajal.