Oleh : Filosa Gita Sukmono (Dosen Ilmu Komunikasi UMY)
REPUBLIKA.CO.ID, Ruang-ruang privat setiap keluarga memasuki bulan ramadan mulai dipenuhi dengan tontotan yang beraneka ragam seperti tayangan podcast, talk show, dan sinetron mini seri dengan nuansa Islam. Tayangan bernuansa Islam tidak hanya melintasi layar kaca kita lewat channel televisi tetapi juga channel-channel Youtube dengan jumlah viewer yang cukup banyak.
Islam yang kita pahami melalui Alquran dan Sunnah Nabi kemudian coba direpresentasikan dalam berbagai tayangan bernuansa islami tersebut. Kemudian pertanyaan yang muncul apakah kita bisa mengambil pelajaran maupun hikmah dari tayangan tersebut atau justru masuk dan terjebak dalam berbagai 'drama hiburan' yang penuh ingar bingar yang pada akhirnya justru melupakan esensi dari agama itu sendiri?
Ketika kita melihat agama dari kaca mata sosiolog seperti Emile Durkheim yang mengatakan bahwa agama sebagai suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktik yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal yang dibolehkan dan dilarang, kepercayaan dan praktik-praktik yang mempersatukan suatu komunitas moral, mereka terpaut satu sama lain. Kata kunci dari penjelasan tersebut adalah agama di masyarakat adalah hal yang suci dan sakral.
Media sendiri memiliki beberapa fungsinya seperti memberikan informasi, media pengawasan, media persuasi, dan fungsi terakhir adalah sebagai media hiburan. Artinya fungsi hiburan dalam setiap program acara memang tidak bisa dilepaskan. Hal inilah yang menurut Biersdorjer (2002) dalam bukunya Religion Finds Technology menjelaskan bahwa hari ini sulit untuk menemukan garis batas yang jelas yang memisahkan agama dan media. Inilah implikasi ketika agama bertemu dengan teknologi.
Artinya hari ini media yang identik dengan hiburan serta agama yang identik dengan sesuatu yang sakral kemudian bertemu dan sulit untuk dipisahkan. Berikutnya pasti timbul pertanyaan apakah agama memanfaatkan media sebagai media dakwah? Atau media yang memanfaatkan agama sebagai konten untuk meraih iklan dan jumlah viewer?
Fenomena yang telah digambarkan di atas terkait perkembangan teknologi media, dikotomi agama dan media tidak bisa lagi ditempatkan secara kaku. Sebaliknya, saling adaptasi dan akomodasi antara agama dan media semakin kuat. Maraknya penggunaan teknologi multimedia elektronik untuk kepentingan dakwah agama atau munculnya realitas agama yang dimediasikan oleh teknologi media (mediated religion) merupakan bukti dari relasi baru akibat dari bergesekannya agama dan media.
Sehingga di bulan Ramadhan ini masyarakat beragama sudah selayaknya menjadi penonton yang kritis dalam setiap melihat tayangan, dengan memposisikan media sebagai penyampai pesan dakwah dan tidak terlalu terhanyut dalam iingar bingar hiburan dalam media sehingga nantinya bisa melewatkan esensi dari pesan dakwah tersebut.