REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan perlu kerja sama pemangku kepentingan menjaga mangrove Indonesia yang saat ini luasnya mencapai 3,44 juta hektare. Salah satunya dengan pemanfaatan lahan tanpa melakukan alih fungsi.
"Kita sedang membangun tata kelola mangrove. Ini berarti kita juga ingin agar semua pihak terkait bisa berperan sesuai dengan kapasitasnya, dengan tugas fungsi kewenangannya," kata Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove (RPDM) KLHK Inge Retnowati dalam diskusi daring diikuti dari Jakarta, Selasa (26/3/2024).
Dia menegaskan KLHK tidak dapat bekerja sendiri dan bekerja sama dengan kementerian/lembaga lain untuk memastikan tugas konservasi wilayah mangrove berjalan dengan baik. Selain dari pemerintah, dibutuhkan juga peran dari masyarakat mengingat ancaman terbesar bagi kawasan mangrove adalah alih fungsi lahan, salah satunya untuk tambak.
Menurut data Peta Mangrove Nasional pada 2023, terdapat 3,44 juta ha kawasan mangrove di Indonesia atau 23 persen dari total mangrove dunia yang mencapai 14,8 juta hektare.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar IPB University Prof. Hadi Sukadi Alikodra mengatakan, kawasan mangrove termasuk dalam keadaan terdesak. Tidak hanya karena luas yang menyempit tapi juga terdapat ancaman pencemaran lingkungan.
Padahal, terdapat potensi pemanfaatan mangrove tanpa melakukan alih fungsinya termasuk dalam bidang perikanan. Dia memberikan contoh bagaimana kawasan mangrove yang terjaga dapat menjadi sumber pendapatan sektor perikanan seperti ikan dan kepiting.
"Hutan mangrove sangat terkait dengan peran dan fungsi biologi, kehidupan dari pada spesies terutama udang, bandeng, kepiting," kata Hadi.
Pemanfaatan kawasan mangrove untuk perikanan tanpa melakukan alih fungsi sendiri harus memiliki analisis risiko baik ekologi, ekonomi maupun sosial. "Itikad dari pada Kementerian LHK tentunya knowledge productivities dari pada fisheries ada, tetapi juga bagaimana pengamanan untuk mangrove," ungkap Hadi.