REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Berbicara tentang Alquran sesungguhnya membicarakan sesuatu yang tidak pernah ada habisnya.
Dari sisi manapun kita memulai pembicaraan maka kita akan temukan dan rasakan, ia bagaikan samudera luas yang dalam dan tidak bertepi. Akan selalu ada hal-hal baru yang kita dapatkan dari hasil tadabbur dan pembacaan kita terhadap Alquran.
Mengutip khutbah Jumat yang ditulis KH Abu Hurairah Abd. Salam Lc, MA (Wakabid Penyelenggaraan Peribadatan Badan Pengelola Masjid Istiqlal), seorang ulama yang bernama DR Muhammad Abdullah Darraz dalam kitab “An-Nabaul Adzhim” mengatakan: Ayat-ayat Alquran itu bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudutsudut lain.
Tidak mustahil jika kita mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang kita lihat.
Alquran disamping harus dibaca dan dihafal juga harus dipelajari, dikaji, ditadabburi dan dipahami maknanya, baik makna tekstual maupun kontekstual “Lafdziyyan Wa Ma'nawiyyan” sehingga kandungannya dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Alquran adalah wahyu Ilahi yang dijamin kebenarannya “Wahyullahil Ma’shum” sedangkan pemahaman kita terhadap Alquran itu adalah produk manusia “Juhdin Basyari” bisa benar dan bisa juga salah.
Alquran adalah kitab “masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang” pemahamannya lentur, fleksibel dan tidak kaku “Sholihun Likulli Zamanin wa Makanin” Alquran selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat.
Kapanpun dan dimanapun Alquran tetap dan tetap menjadi sumber kebenaran yang mutlak, yang tidak ada keraguan di dalamnya dan menjadi pedoman hidup umat manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لَّا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهٖ ۗتَنْزِيْلٌ مِّنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ
“Tidak ada kebatilan yang mendatanginya, baik dari depan maupun dari belakang. (Alquran itu adalah) kitab yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji. (QS Fussilat Ayat 42)