REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Israel mengebom setidaknya empat rumah di Rafah pada Rabu (27/3/2024). Tindakan ini sekaligus meningkatkan ketakutan baru di antara lebih dari satu juta warga Palestina yang berlindung di tempat perlindungan terakhir di tepi selatan Jalur Gaza bahwa serangan darat yang sudah lama terancam akan terjadi.
“Salah satu serangan udara menewaskan 11 orang dari satu keluarga, kata pejabat kesehatan. Mussa Dhaheer, yang melihat dari bawah ketika tetangganya membantu petugas darurat menurunkan korban dalam kantong mayat hitam dari lantai atas, mengatakan dia terbangun karena ledakan tersebut, mencium putrinya yang ketakutan, dan bergegas keluar untuk mencari kehancuran. Ayahnya yang berusia 75 tahun, dan ibunya, 62 tahun, termasuk di antara korban tewas.
"Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya tidak tahu harus berkata apa. Saya tidak bisa memahami apa yang terjadi. Orang tua saya. Ayah saya bersama teman-temannya yang mengungsi yang berasal dari Kota Gaza," katanya kepada Reuters, Kamis, (28/3/2024).
"Mereka semua bersama-sama, tetapi tiba-tiba mereka semua lenyap seperti debu." Di lokasi pengeboman lainnya, Jamil Abu Houri mengatakan intensifikasi serangan udara adalah cara Israel menunjukkan penghinaan terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB pekan lalu yang menuntut gencatan senjata Israel-Hamas segera.
Selanjutnya, ia khawatir akan terjadi serangan darat di Rafah, yang telah diancam oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meskipun ada peringatan dari sekutu terdekatnya Washington bahwa hal ini akan menimbulkan bencana kemanusiaan. “Pemboman semakin meningkat, dan mereka mengancam kami dengan serangan, dan mereka bilang kami sudah diberi lampu hijau untuk serangan ke Rafah. Di mana Dewan Keamanan?” kata Abu Houri.
Seorang pejabat Amerika mengatakan pada hari Rabu bahwa Israel telah meminta untuk menjadwalkan ulang pertemuan di Washington untuk membahas rencana mereka di Rafah, beberapa hari setelah Netanyahu tiba-tiba membatalkan pembicaraan mengenai pengesahan resolusi gencatan senjata Gaza oleh Dewan Keamanan PBB yang tidak diveto oleh Amerika.
Abstainnya AS dalam pemungutan suara menunjukkan rasa frustrasinya terhadap Netanyahu, yang menegur Washington atas tindakan tersebut.