JAKARTA -- Di Indonesia, bulan Ramadhan menjadi momentum yang sangat dinantikan oleh masyarakat, tidak hanya karena nilai spiritualnya yang tinggi, tetapi juga karena potensi ekonomi yang besar, terutama di sektor kuliner. Salah satu aspek yang paling mencolok adalah penjualan takjil, makanan atau minuman yang dikonsumsi saat berbuka puasa.
Fenomena ini berpotensi mendorong perputaran uang di sektor ini mencapai angka yang fantastis, bahkan bisa mencapai miliaran rupiah, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Pusat-pusat keramaian seperti pasar Ramadan, pusat perbelanjaan, dan sepanjang jalan protokol, dipenuhi oleh pedagang takjil yang menawarkan berbagai jenis makanan dan minuman.
Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan untuk mencoba berbagai jenis makanan baru, terutama saat bulan Ramadhan, di mana mereka mencari variasi makanan untuk berbuka puasa. Hal ini menjadi peluang emas bagi para pelaku usaha kuliner untuk berinovasi dan menyediakan berbagai jenis takjil yang menarik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
Survei Kurious dari Katadata Insight Center (KIC) pada 2023 menunjukkan, mayoritas responden lebih banyak mengeluarkan uang kisaran Rp20 ribu-Rp40 ribu untuk membeli takjil. Proporsi pilihan ini menyentuh 46,7% dari total responden. Harga berikutnya adalah kurang dari Rp20 ribu, yang dipilih 25,2% responden.
Selanjutnya, Rp40 ribu-Rp60 ribu yang dipilih oleh 17,5% responden. Ada juga kisaran harga Rp60 ribu-Rp80 ribu yang dipilih 5,3% responden. Disusul harga lebih dari Rp100 ribu, dipilih oleh 3% responden. Terakhir, pilihan harga Rp80 ribu-Rp100 ribu oleh 2,2% responden saja.
Angka ini diperkirakan akan meningkat pesat seiring tidakadanya pembatasan kegiatan masyarakat pasca pandemi. Dengan demikian, potensi ekonomi dari penjualan takjil selama bulan suci ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha, tetapi juga menjadi salah satu motor penggerak perekonomian lokal yang signifikan.