Jumat 29 Mar 2024 13:53 WIB

Perjanjian Ekstradisi Buronan Antara RI dan Singapura Bersifat Progresif

Perjanjian RI-Singapura memuat 31 tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kedua kiri) menyaksikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kanan) dan Menteri Dalam Negeri Singapura K Shanmugam bertukar dokumen perjanjian ekstradisi di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).
Foto: Setpres/Antara
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kedua kiri) menyaksikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kanan) dan Menteri Dalam Negeri Singapura K Shanmugam bertukar dokumen perjanjian ekstradisi di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan, perjanjian ekstradisi buronan antara Indonesia dan Singapura bersifat progresif karena terdiri atas pasal dan ruang lingkup yang berguna untuk masa sekarang dan masa depan.

"Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura bersifat progresif, fleksibel, dan tindak kejahatan di masa sekarang dan masa depan," kata Yasonna dalam siaran pers yang dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (29/3/2024).

Baca: Rebut dari Singapura, Layanan Udara di Kepri dan Natuna Kini Dikelola RI

Dia menjelaskan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura terdiri atas 19 pasal dengan ruang lingkup kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara mana dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.

Dalam perjanjian ekstradisi tersebut, kata Yasonna, terdapat 31 tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi. Di antaranya, tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme dan pendanaan kegiatan terorisme, serta berbagai tindak pidana lain berdasarkan hukum kedua negara.

Tidak hanya itu, sambung dia, ekstradisi Indonesia-Singapura juga mempunyai fitur khusus, yakni penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan. Hal itu untuk menutup celah yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana yang mencoba menghindari proses hukum.

Baca: Militer China Gelar Simulasi Serang Istana Kepresidenan Taiwan

"Lebih lanjut untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perjanjian ini menganut prinsip retroaktif hingga 18 tahun sebagai upaya menjangkau tindak pidana yang dilakukan sebelum perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura dilakukan," jelas Yasonna.

Politikus PDIP itu berharap, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura dapat langsung dimanfaatkan para penegak hukum, memberikan efek deterrence atau pencegahan, dan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam melarikan diri.

Perjanjian yang ditandatangani di Bintan, Kepulauan Riau pada 25 Januari 2022, oleh Yasonna dan menteri dari negeri Singa tersebut telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan.

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura mulai memberlakukan secara efektif perjanjian tentang ekstradisi buronan tersebut per tanggal 21 Maret 2024.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement