Sabtu 30 Mar 2024 14:08 WIB

Ahmad Basarah Beberkan Legacy Keislaman Bung Karno

Tak lagi tepat mendikotomikan nasionalisme dengan agama.

Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah, saat menghadiri peringatan Nuzulul Quran yang diselenggarakan Barmusi PDI Perjuangan.
Foto: istimewa/doc humas
Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah, saat menghadiri peringatan Nuzulul Quran yang diselenggarakan Barmusi PDI Perjuangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah menilai, saat ini tak lagi relevan untuk mendikotomikan nasionalisme dan agama. Proklamator Kemerdekaan RI, Bung Karno, meski dikenal sebagai tokoh nasionalis, namun banyak meninggalkan warisan tentang keislaman.

Hal itu disampaikan Basarah dalam acara peringatan Nuzul Quran yang diselenggarakan organisasi sayap PDI-P, Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), di Masjid At Taufiq, Lenteng Agung, jakarta Selatan, Jumat (29/3/2024) petang.

"Tak lagi tepat mendikotomikan nasionalisme dengan agama, agama dengan nasionalisme, karena pada hakikatnya nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang religius," kata Basarah, dalam siaran pers, Sabtu (30/3/2024).

Menurut Basarah, Bung Karno dikenal sebagai tokoh nasionalis. Namun pada pemikiran dan legacy-nya justru menunjukkan dimensi keagamaan begitu sangat kuat.

Sekretaris Dewan Penasihat PP Bamusi itu, menuturkan, Bung Karno mempelajari Islam secara mendalam sejak ia remaja. Tepatnya ketika Bung Karno dititipkan di rumah tokoh pimpinan islam, Haji Umar Said Tjokroaminoto. "Di sana lah Bung Karno digembleng ajaran dan pemikiran Islam," kata Basarah.

Ditambahkannya, Bung karno juga mengakui Kyai Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah adalah guru utama yang ia ikuti.

Lalu, Bung karno juga pernah berguru dengan Kyai Ahmad Hasan di Bandung. "Ketika bung karno dibuang Belanda ke Ende, tepi pantai yang sepi, Bung Karno melanjutkan pemikiran islamnya dengan melakukan yurisprudensi dengan Kyai Ahmad Hasan di Bandung, yang surat-surat itu sekarang sudah dibukukan," ujarnya.

Saat dibuang ke Bengkulu,  menurut Basarah, Bung Karno juga bertemu banyak tokoh Islam di sana. Bung Karno untuk pertama kalinya memutuskan masuk organisasi Muhammadiyah.

Bung karno diangkat jadi ketua majelis pengajaran di Muhammadiyah di Bengkulu tahun 1938-1942. Konsep keislaman yang dipelajari secara mendalam oleh Bung Karno sejak remaja itu, kemudian dipakai dalam merumuskan dasar negara, menjelang kemerdekaan Indonesia.

"Ketika beliau mengusulkan dasar Indonesia merdeka, bung karno mengusulkan dasar ketuhanan yang maha esa sebagai dasar yang fundamental bangsa indonesia pada waktu itu," kata Wakil Ketua MPR itu. 

Pemikiran Bung Karno yang merupakan tokoh nasionalis sekaligus religius itu pun bisa menjadi jalan tengah. Sebab, 66 tokoh yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) itu terbelah menjadi dua kelompok. Ada kelompok yang ingin Indonesia menjadi negara nasionalis sekuler dan ada kelompok yang ingin Indonesia jadi negara Islam. 

"Sebagai pembicara terakhir, Bung Karno mengusulkan jalan tengah, bukan negara nasionalis sekuler, tapi bukan negara Islam. Bung Karno mengusulkan negara Ketuhanan Yang Maha Esa, di mana semua umat beragama diakui dalam bingkai hukum negara Pancasila," kata Basarah.

Turut hadir dalam acara itu sejumlah pengurus PP Bamusi seperti Irvansyah Asmat, Helmi Hidayat, Yulistian Imam Taryudi, Achmad Sahid, Rahmat Sahid, M Sukron, Yayan Sopyani Al Hadi, dan Zulkifli.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement