REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika gelombang panas melanda sebagian besar wilayah di bumi pada musim panas lalu, di banyak tempat, suhu yang sangat panas bertahan selama berhari-hari atau berpekan-pekan. Seiring dengan perubahan iklim, gelombang panas semakin bergerak lambat dan berlangsung lebih lama, demikian menurut sebuah studi baru yang dipublikasikan dalam jurnal Science Advances.
Setiap dekade antara tahun 1979 dan 2020, laju perjalanan gelombang panas yang didorong oleh sirkulasi udara, melambat sekitar 8 kilometer per hari, menurut studi tersebut. Gelombang panas juga sekarang berlangsung sekitar empat hari lebih lama secara rata-rata.
"Hal ini benar-benar berdampak kuat pada kesehatan masyarakat," kata ilmuwan iklim di Utah State University dan salah satu penulis penelitian, seperti dilansir New York Times, Ahad (31/3/2024).
Semakin lama gelombang panas bertahan di suatu tempat, semakin lama pula manusia terpapar suhu yang mengancam jiwa. Suhu panas yang ekstrem juga berkontribusi pada kekeringan, peningkatan risiko kebakaran, hingga melambatnya produktivitas ekonomi.
Zhang mengatakan, perubahan perilaku gelombang panas ini semakin terlihat sejak akhir tahun 1990-an. Dia mengaitkan perubahan ini sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, tetapi juga sebagian disebabkan oleh variabilitas iklim alami.
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang melacak bagaimana gelombang panas bergerak melalui ruang dan waktu.
Rachel White, seorang ilmuwan atmosfer di University of British Columbia yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan bahwa ia telah lama menantikan penelitian seperti ini.
"Kita tahu bahwa perubahan iklim meningkatkan intensitas gelombang panas. Kita tahu bahwa perubahan iklim meningkatkan frekuensi gelombang panas. Namun, penelitian ini benar-benar membantu kita untuk lebih memahami bagaimana hal itu terjadi,” kata White.
Zhang dan rekan-rekannya menganalisis suhu di seluruh dunia antara tahun 1979 dan 2020. Mereka mendefinisikan gelombang panas sebagai area yang berdekatan yang mencapai total 1 juta kilometer persegi (247 juta hektar) atau lebih, di mana suhu meningkat setidaknya hingga persentil ke-95 dari suhu maksimum historis lokal.
Gelombang panas tersebut juga harus berlangsung setidaknya selama tiga hari. Para peneliti kemudian mengukur seberapa jauh massa udara raksasa ini bergerak dari waktu ke waktu untuk menghitung kecepatannya. Selama bertahun-tahun mereka meneliti, gelombang panas melambat sekitar 8 kilometer per hari setiap dekade.
Masa hidup rata-rata gelombang panas juga semakin panjang. Dari tahun 2016-20, gelombang panas bertahan selama rata-rata 12 hari, dibandingkan dengan delapan hari dari tahun 1979-1983. Gelombang panas yang berumur lebih panjang ini juga menjalar lebih jauh, meningkatkan jarak tempuh sekitar 226 kilometer per dekade.
Para peneliti juga menemukan bahwa gelombang panas menjadi lebih sering terjadi, dengan rata-rata 98 per tahun antara tahun 2016 dan 2020, dari 75 per tahun antara tahun 1979 dan 1983.
Ada beberapa perbedaan regional. Gelombang panas berlangsung lebih lama terutama di Eurasia dan Amerika Utara. Dan mereka menjalar lebih jauh terutama di Amerika Selatan.
Untuk meneliti peran perubahan iklim, para peneliti menggunakan model untuk mensimulasikan suhu dalam skenario dengan dan tanpa pemanasan dari emisi gas rumah kaca. Mereka menemukan bahwa skenario dengan emisi ini adalah yang paling sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi pada perilaku gelombang panas, yang mengindikasikan bahwa perubahan iklim adalah kekuatan utama di balik tren ini.
Para ilmuwan telah mulai mendeteksi pola sirkulasi udara yang lebih besar dan angin atmosfer bagian atas termasuk arus jet (jet stream) yang semakin lemah, setidaknya selama musim panas di garis lintang yang lebih tinggi di Belahan Bumi Utara. Hal ini dapat menyebabkan berbagai peristiwa cuaca ekstrem terhenti dan melampaui batas waktu yang ditentukan.
"Masuk akal jika hal itu akan memperlambat kecepatan gelombang panas," kata Stephen Vavrus, ahli iklim negara bagian Wisconsin. Vavrus mempelajari sirkulasi atmosfer tapi tidak terlibat dalam penelitian ini.
Penelitian baru ini menemukan korelasi antara jet stream yang lebih lemah dan gelombang panas yang lebih lambat. Namun, menurut White, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah jet stream benar-benar menjadi penyebabnya. Apapun alasan pasti dari perlambatan tersebut, efek berbahaya tetap ada.
"Ini adalah semacam beberapa faktor yang bersekongkol bersama. Jika gelombang panas menjadi lebih sering terjadi, lebih intens, berlangsung lebih lama dan mencakup area yang lebih luas. Hal tersebut benar-benar meningkatkan kekhawatiran kita terhadap dampaknya,” kata Vavrus.
Zhang sangat prihatin dengan kota-kota besar, yang sering kali lebih panas daripada daerah sekitarnya karena efek panas perkotaan (urban heat island). "Jika gelombang panas tersebut berlangsung lebih lama di kota, itu akan menyebabkan situasi yang sangat berbahaya," kata dia.
Bersamaan dengan penelitian atmosfernya, Zhang membantu upaya lokal untuk menanam lebih banyak pohon dan rumput di sekitar halte bus di Salt Lake City, di mana orang-orang harus menunggu di bawah sinar matahari selama musim panas yang semakin panas. Dia menyarankan agar kota membangun lebih banyak pusat pendingin, terutama bagi para tunawisma.
Sambil menunggu para pemimpin internasional membuat kemajuan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghentikan perubahan iklim, Zhang menilai, upaya adaptasi lokal penting untuk membantu menjaga masyarakat lebih aman.