Senin 01 Apr 2024 17:31 WIB

Netanyahu tak Pedulikan Seruan Biden

Israel melanjutkan operasinya di Kompleks Rumah Sakit Al Shifa dan sekitarnya.

Warga Palestina mendoakan jenazah korban pemboman Israel yang dibawa dari Rumah Sakit Shifa sebelum menguburkannya di kuburan massal di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Rabu, (22/11/2023).
Foto: AP Photo/Mohammed Dahman
Warga Palestina mendoakan jenazah korban pemboman Israel yang dibawa dari Rumah Sakit Shifa sebelum menguburkannya di kuburan massal di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Rabu, (22/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyetujui rencana serangan ke Kota Rafah. Netanyahu tidak mempedulikan peringatan Amerika Serikat untuk tidak menyerang wilayah di Jalur Gaza paling selatan yang berbatasan dengan Mesir.

''Kami telah menyetujui rencana operasional untuk menyerang Rafah,” kata Netanyahu dalam konferensi pers, Ahad (31/3/2024) malam, sebelum dirinya menjalani operasi hernia.

Netanyahu yang dilabeli sebagai 'Hitler Zaman Sekarang' ini mengeklaim Rafah adalah “benteng terakhir Hamas”. Netanyahu bersikeras untuk menyerang wilayah tersebut meskipun negara-negara lain telah memperingatkan adanya konsekuensi bencana kemanusiaan jika Israel menyerang kota yang ditinggali 1,4 juta warga Palestina.

“Kami akan memasuki Rafah dan melenyapkan Hamas. Tanpa begitu, tidak ada kemenangan (bagi Israel)," kata dia.

Menurut dia, tentara Israel di Rumah Sakit Al Shifa telah membantu mereka mengidentifikasi lokasi para militan Hamas. “Pemerintah sedang berupaya mengevakuasi penduduk sebelum menyerbu Rafah. Kami akan memasuki kota tersebut, meskipun ada tentangan dari Presiden AS (Joe) Biden," ujarnya.

Pada hari ke-15, tentara Israel melanjutkan operasinya di Kompleks Rumah Sakit Al Shifa dan sekitarnya di bagian barat Kota Gaza. Menurut kantor media otoritas Gaza, serangan Israel telah mengakibatkan lebih dari 400 warga Palestina tewas serta sekitar 1.000 rumah hancur atau terbakar.

Mengenai tuduhan terhadap dirinya dalam kasus warga Israel yang disandera di Gaza, Netanyahu menegaskan bahwa siapa pun yang menuduhnya tidak berupaya keras untuk membebaskan para sandera, adalah salah dan menyesatkan.

Dia pun menjawab seruan dari oposisi Israel untuk mengadakan pemilihan umum lebih awal, dengan menyebutnya tuntutan seperti itu "berarti melumpuhkan negara dan menunda kesempatan untuk mencapai kesepakatan pertukaran sandera hingga enam bulan ke belakang".

Oposisi Israel menuding Netanyahu menjalankan kebijakan yang sesuai dengan tujuan politik pribadinya, khususnya niatnya untuk tetap berkuasa. Netanyahu dianggap gagal mencapai tujuan perang, khususnya mengakhiri perlawanan Hamas dan mengembalikan pada sandera dari Gaza.

Tel Aviv saat ini menahan sedikitnya 9.100 warga Palestina di penjara-penjaranya, sementara diperkirakan ada 134 warga Israel disandera di Gaza. Hamas telah mengumumkan kematian 70 orang warga Israel yang disandera akibat serangan udara Tel Aviv.

sumber : Antara/Anadolu
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement