Rabu 03 Apr 2024 12:07 WIB

Puasa Ramadhan, Sampah Makanan, dan Potensi Krisis Pangan

Krisis pangan jadi salah satu dampak perubahan iklim yang dirasakan saat Ramadhan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Kerawanan pangan dan kelangkaan air bukanlah satu-satunya dampak perubahan iklim yang dirasakan pada bulan Ramadan.
Foto: www.pixabay.com
Kerawanan pangan dan kelangkaan air bukanlah satu-satunya dampak perubahan iklim yang dirasakan pada bulan Ramadan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap Ramadan, para sukarelawan di Masjid Westall dan OneSpace di Melbourne mengadakan buka puasa mingguan gratis. Tahun ini, para sukarelawan mengatakan jumlahnya semakin meningkat.

Untuk mengurangi timbunan sampah, para peserta diminta untuk membawa wadah makanan dan botol air minum sendiri yang dapat digunakan kembali. Di tempat sampah khusus, botol dan kaleng dikumpulkan dan didaur ulang di bawah skema pemerintah negara bagian, yang bisa menambahkan 12-25 dolar Australia setiap akhir pekan ke kas setiap masjid.

Baca Juga

Banyak di antara jamaah yang hadir adalah mahasiswa internasional dari Indonesia atau Malaysia. Tinggal jauh dari keluarga, biaya kuliah yang tinggi, dan menghadapi pekerjaan tidak menentu selama kuliah, mereka mewakili segmen masyarakat Australia yang sangat terdampak oleh meningkatnya biaya hidup. Hal ini termasuk lonjakan harga pangan yang disebabkan oleh kegagalan panen akibat pemanasan global.

“Ini adalah contoh kecil dari masalah global. Cara umat Islam di seluruh dunia menjalani Ramadan berubah karena perubahan iklim, dan seringkali menjadi lebih buruk,” kata Dosen Senior Departemen Media dan Komunikasi di La Trobe University, Nasya Bahfen, seperti dilansir The Conversation, Rabu (3/4/2024).

Seperti komunitas muslim lainnya di Australia, Muslim Melbourne merupakan minoritas yang beruntung karena hidup di negara yang makmur dan damai. Sementara itu, komunitas muslim di belahan dunia lain menghadapi tantangan yang lebih berat.

Beberapa negara yang dianggap paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah negara-negara dengan populasi mayoritas Muslim seperti Indonesia, Bangladesh, dan Pakistan.

Di Timur Tengah dan Afrika Utara, yang merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Program Pangan Dunia (World Food Program) menggambarkannya sebagai daerah dengan krisis ketahanan pangan yang berkepanjangan. Di wilayah yang dilanda konflik dan perubahan iklim ini, Program Pangan Dunia mengatakan bahwa praktik berpantang makan, telah menjadi kenyataan yang terus berlangsung bagi jutaan orang sepanjang tahun.

“Kerawanan pangan menjadi lebih buruk di Timur Tengah dan Afrika Utara karena kekeringan di wilayah tersebut, yang terdiri dari 12 negara paling kering di dunia. Negara-negara tersebut antara lain Aljazair, Bahrain, Qatar, Palestina, Arab Saudi, Tunisia, dan Yaman,” jelas Bahfen.

Dengan perkiraan penurunan curah hujan yang diperkirakan akan mengurangi produk domestik bruto (PDB) negara-negara Timur Tengah, perubahan iklim merupakan ancaman yang sangat penting bagi negara-negara ini.

Bahfen mengatakan, kerawanan pangan dan kelangkaan air bukanlah satu-satunya dampak perubahan iklim yang dirasakan pada bulan Ramadan. Meningkatnya suhu telah menyebabkan masyarakat terpaksa mengungsi karena cuaca ekstrem seperti badai, kebakaran hutan, dan banjir.

Pada tahun 2022, banjir di Pakistan menghancurkan sistem air dan memaksa lebih dari lima juta orang untuk bergantung pada sungai dan sumur. Hal ini berkontribusi pada peningkatan penyakit karena air yang terkontaminasi.

Gelombang panas selama masa puasa juga bisa berakibat fatal. Pada tahun 2018, puluhan orang meninggal dunia, juga di Pakistan, di tengah suhu yang sangat panas di awal Ramadan. Setelah insiden cuaca ekstrem, negara yang dilanda konflik akan menanggung kerugian empat kali lipat lebih besar terhadap produk domestik brutonya, dibandingkan dengan negara yang stabil.

Kerugian PDB permanen sebesar 5,5 persen telah tercatat di Asia Tengah dan lebih dari 1 persen di Timur Tengah dan Afrika Utara, menyusul bencana iklim. Kerugian tersebut memperparah stabilitas negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang sudah genting.

Seiring berjalannya waktu, kejadian cuaca ekstrem seperti banjir di Bangladesh berdampak pada produksi bahan pangan. Pada tingkat praktis, hilangnya pendapatan yang diakibatkan oleh banjir yang melanda seluruh kota berdampak pada ekonomi lokal selama bulan Ramadan dan seterusnya, karena para penyintas menghabiskan memilih merayakan Idul Fitri dengan lebih hemat.

Negara-negara yang lebih kaya, secara umum, lebih siap untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Namun, di negara-negara mayoritas Muslim di belahan bumi selatan, ada dorongan untuk 'menghijaukan' Ramadhan, dan agar praktik-praktik ramah lingkungan dimasukkan ke dalam kehidupan Muslim sehari-hari.

Masjid seperti Masjid Salman di ITB telah menggabungkan area wudhu tanpa tisu dan hemat air. Selain itu, panel surya yang dipasang pada tahun 2019 telah memberi daya pada masjid Istiqlal di Jakarta, masjid terbesar di Asia Tenggara.

Sementara itu, tradisi puasa yang telah berlangsung selama 1.400 tahun terus berlanjut di dunia dengan iklim yang terus berubah. Meskipun telah berabad-abad lamanya, umat Islam kini mempraktikkan iman mereka di tengah tantangan lingkungan yang sangat modern.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement