REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibadah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika masuk sepuluh terakhir bulan puasa Ramadhan adalah beritikaf, yaitu berdiam diri di masjid dengan segala kegiatan ibadah.
Namun, kaitannya dengan malam Lailatul Qadar itu bukanlah kaitan syarat dengan yang disyarati. Itikaf bukanlah syarat untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar. Demikian dijelaskan KH Ahmad Zarkasih dalam buku Meraih Lailatul Qadar, Haruskah I'tikaf? terbitan Rumah Fiqih Publishing, 2019.
Tapi jika mampu beritikaf mengapa tidak dilakukan? Karena itu adalah sunnah yang sangat besar pahalanya. Itikaf adalah sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW selama 10 terakhir bulan puasa Ramadhan sepanjang hidup Rasulullah SAW.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ
Aisyah Radhiyallahu anha bercerita, "Nabi SAW (selalu) beritikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mewafatkan beliau." (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Tapi sesungguhnya, malam Lailatul Qadar tidaklah dikhususkan untuk mereka yang beritikaf saja, tapi siapapun yang ketika malam itu menghidupkan malamnya dengan ibadah. "Siapapun yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan iman dan ihtisab (mengharapkan pahala), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau." (HR Imam Bukhari)
Bagi mereka yang masih harus bekerja di malam hari, ia terhalang untuk bisa beritikaf. Juga bagi wanita yang tidak bisa beritikaf karena mendapatkan dirinya dalam keadaan tidak suci.
Mereka-mereka ini masih punya kesempatan...