Kamis 04 Apr 2024 15:51 WIB

KY Diminta Kawal Ketat Banding Sekretaris MA Hasbi Hasan

Jabatan Hasbi Hasan berada di atas hakim yang menghukumnya di lingkungan MA.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (3/4/2024). Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) tersebut divonis hukuman enam tahun, Hukuman ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK.
Foto: Republika/Prayogi
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (3/4/2024). Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) tersebut divonis hukuman enam tahun, Hukuman ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum korupsi dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah meminta Komisi Yudisial (KY) mengawal ketat pengajuan banding Sekretaris Mahkamah Agung (MA) nonaktif Hasbi Hasan dalam kasus suap penanganan perkara. Herdiansyah menduga adanya kemungkinan hakim yang main mata dalam perkara yang menjerat petinggi MA itu. 

Majelis hakim PN Jakpus memutuskan Hasbi Hasan terbukti bersalah di kasus suap penanganan perkara. Atas dasar itulah, Hasbi Hasan dihukum pemenjaraan selama enam tahun. Hasbi Hasan langsung mengajukan banding atas vonis tersebut. 

Baca Juga

"KY memang harus masuk mengawasi proses yang kontroversial dan mencurigakan semacam ini," kata Herdiansyah kepada Republika.co.id, Kamis (4/4/2024). 

Herdiansyah pantas menilai putusan di kasus ini mencurigakan. Sebab vonis Hasbi Hasan jauh melenceng dari tuntutan Jaksa KPK. "Vonis ringan ini sudah seperi kebiasaan," ujar Herdiansyah. 

Herdiansyah menduga adanya peluang hakim dalam perkara ini bermasalah. Minimal mereka mengalami kendala memvonis berat Hasbi yang merupakan petinggi MA. Jabatan Hasbi memang berada di atas hakim yang menghukumnya di lingkungan MA. 

"Relasi konflik kepentingannya pasti ada. Kemungkinan main mata pasti ada. Karena itu, jika vonisnya ringan, maka jelas itu patut dicurigai," ujar Herdiansyah. 

Selain itu, Herdiansyah memandang hakim kian jarang menghukum berat koruptor pascarevisi UU KPK pada 2019 dan meninggalnya mantan Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar. 

"Tuah pengadilan seperti hilang pascarevisi UU KPK dan Artidjo sudah tidak di MA lagi. Padahal vonis berat itu penting untuk memberikan efek jera (deterrent effect)," ucap Herdiansyah.

Diketahui, majelis hakim memutuskan Hasbi Hasan terbukti bersalah di kasus suap penanganan perkara. Atas dasar itulah, Hasbi Hasan dipandang Majelis hakim layak diganjar sanksi pidana berupa pemenjaraan selama enam tahun. 

Selain hukuman penjara, Hasbi Hasan diputuskan wajib membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider kurungan pengganti selama 6 bulan. Berikutnya, Hasbi Hasan juga disanksi pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 3.880.844.000.400. 

Atas perbuatannya, Hasbi terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Diketahui, hukuman ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa KPK. Semula, Hasbi Hasan dituntut hukuman penjara selama 13 tahun dan 8 bulan. Hasbi Hasan diyakini Jaksa KPK bersalah dalam kasus suap penanganan perkara di MA. 

JPU KPK juga menuntut agar hakim menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 3.880.000.000 kepada Hasbi Hasan. 

Terdakwa lain sekaligus eks Komisaris Independen Wijaya Karya, Dadan Tri Yudianto sudah divonis penjara lima tahun, denda 1 miliar dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 7.950.000.000 dalam kasus ini.

Vonis terhadap Dadan ini jauh dari tuntutan yang diajukan Jaksa KPK berupa hukuman penjara selama 11 tahun 5 bulan. Kasus ini berawal dari pengurusan perkara KSP Intidana di MA.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement